Air, Berkah atau Bencana?
Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Sungai Nil, pukul 19.30. Pantulan air di permukaan sungai berkilau warna-warni. Cahaya lampu-lampu kota berpendaran di langit Kairo. Malam itu saya dan istri menikmati makan malam di floating restaurant Nile Peking Dinner Cruise. Bentuk kapalnya tipe modern kapal dalam novel Death on the Nile (1937), karya novelis legendaris Agatha Christie. Di ruang kabin berjendela kaca, di antara banyak orang, dan dihibur tarian whirling dervish, tarian darwis sufi Jalaluddin Rumi (1207-1273), yang berputar-putar hingga trans, saya malah lebih menikmati suasana Nil ketimbang makanannya.
Sungai Nil adalah jantung peradaban Mesir, sejak tahun 6000 SM. Nil telah membentuk peradaban manusia (river valley civilization) Mesir kuno. Di dunia setidaknya ada empat river valley civilization. Lainnya Sungai Eufrat dan Tigris (Mesopotamia), Sungai Indus (India kuno), Sungai Kuning atau Huang He (China kuno).
Bagi Mesir, Nil adalah jantung kehidupan. Dari 98 juta penduduk Mesir (2019), sekitar 94 juta (95,9 persen) tinggal tak jauh dari jalur sungai Nil. Bukan cuma Mesir, ada sekitar 280 juta penduduk Afrika yang bergantung pada Nil. Mereka hidup 11 negara sejak hulu di Burundi, Rwanda, Kongo, Uganda, Tanzania, Kenya, Sudan Selatan, Ethiopia, Eritrea, Sudan, dan Mesir di hilir.
Nil adalah sungai terpanjang di dunia, sekitar 6.650 kilometer. Melintasi lima zona iklim: hujan tropis-semitropis-semikering-gurun-perairan Laut Mediterania. Luas cekungan Nil mencapai 3,18 juta kilometer persegi atau sekitar 10 persen wilayah benua Afrika. Menurut majalah Belanda Reizen Langs Rivieren, Sungai Nil membawa 300 juta meter kubik atau 79,2 miliar galon per hari (www.livescience.com, 2016).
Orang Mesir kuno justru senang bila Nil banjir. Mereka punya tiga siklus musim, salah satunya musim banjir (akhet), pada Juni-September. Akibat hujan tropis di wilayah hulu dan mencairnya salju di dataran tinggi Ethiopia, banjir membawa endapan lumpur. Air dan lumpur hitam itulah yang justru didambakan orang Mesir, karena sangat subur.
Selepas musim banjir lewat, mereka menggarap dan menanam gandum, kacang-kacangan, kapas, rami, dan tanaman lainnya. Dalam mitologi Mesir kuno, Nil adalah “bapak kehidupan” atau “ibu semua orang”. Orang Mesir percaya pada dewa-dewi pemberi keberlimpahan di Nil.
Sungai Nil dipasok oleh dua sungai besar di hulu: Nil Putih dan Nil Biru. Nil Putih berhulu di Burundi, dari sungai Ruvyironza dan Danau Victoria. Nil Biru berhulu di dataran tinggi Ethiopia. Sumbernya di Danau Tana. Nama dua sungai itu sesuai warna airnya. Nil Biru bermula biru jernih dan kemudian berubah menjadi hitam karena membawa sedimentasi. Nil Putih membawa sedimen abu-abu keputihan dari daerah tropis. Nil Putih dan Nil Biru bertemu di Khartoum, ibu kota Sudan, dan bertemu juga dengan Sungai Atbara dari hulu Ethiopia
Nil Biru lebih banyak memasok air ke badan sungai Nil. Dari volume air sungai Nil yang mengalir sampai di Mesir, Nil Biru menyuplai sekitar 85 persen, sisanya sekitar 15 persen adalah pasokan dari Nil Putih. Boleh jadi karena Nil Putih melewati perjalanan yang lebih jauh melintasi ngarai curam dan kontur pegunungan tropis sehingga banyak air yang terhenti di tempat-tempat tersebut. Sedangkan Nil Biru perjalanannya lebih pendek dan aliran airnya lebih cepat.
Pada 1899, saat Inggris menjajah Mesir dibangunlah Bendungan Aswan Rendah. Lama-lama kapasitasnya tak mampu menampung volume air yang terus berlimpah. Ketika Mesir sudah merdeka, Bendungan Aswan Tinggi pun dibangun tahun 1960-1970. Mesir mengatur distribusi air Sungai Nil semenjak perjanjian dengan Inggris (mewakili Uganda, Kenya, Tanzania, dan Sudan) pada 1929. Mesir dan Sudan kemudian meneken perjanjian lagi pada 1959. Tapi Ethiopia tak diikutsertakan. Pada 1999, 10 negara – minus Mesir – membentuk prakarsa kerja sama pemanfaatan Nil.
Masalah muncul setelah Ethiopia membangun Bendungan Renaissans Besar Ethiopia (The Grand Ethiopian Renaissance Dam/GERD) di wilayah Benishangul-Gumuz, sekitar 15 kilometer menjelang perbatasan Sudan. Bendungan itu sangat vital bagi Ethiopia. Dibangun tahun 2011 dan mulai diisi air pada 2020. GERD memasok energi listrik sebesar 6.450 megawatts (MW), sektor perikanan dan pariwisata.
Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed tampaknya ingin membuat akselerasi pertumbuhan ekonomi negerinya. Dari stigma negeri berwajah bencana kelaparan ingin disulap menjadi negara penyedot investasi besar. Dengan potensi Sungai Nil, Ethiopia ingin meraih masa depan, dan mungkin Mesir bisa tersudut sebagai negeri masa lalu.
Mesir pun ketar-ketir. “Surga Nil” berpotensi hilang. Semakin cepat proses pengisian air di Bendungan Rennaisans Besar, Mesir semakin cepat menderita. Air mengalami defisit dan berarti semakin sedikit wilayah pertanian yang terairi. Dampaknya areal pertanian di Mesir bakal cepat berkurang (Al-Jazeera, 2020). Tahun 2010, Menteri Air dan Irigasi Mesir Mohammed Nasreddin Allam bicara keras bahwa air Sungai Nil adalah “hak bersejarah” dan masalah keamanan nasional Mesir.
Maka, Mesir memiliki hak “untuk mengambil langkah apa pun yang dianggapnya sejalan untuk melindungi bagiannya” (Châtel dan Oestigaard, “The Nile: Shifting Balance of Power”, Revolve, 2011/2012). Di masa lalu, pada 1978, Presiden Mesir Anwar Sadat mengatakan, “Satu-satunya hal yang dapat membawa Mesir berperang lagi adalah air.” Sungai Nil menjadi titik api konflik.
Tren konflik di abad ke-21, pasca cadangan minyak menipis, antara lain persoalan air. Di beberapa kawasan, sengketa air sudah muncul. Bisa dilihat antara India versus Pakistan yang memperebutkan sungai Indus; India versus China (sungai Brahmanaputra dan Sutlej); China versus Laos plus negara Asia Tenggara lain (sungai Mekong), Iran versus Afghanistan (sungai Helmand dan Harirud); lalu Turki, Suriah, dan Irak (cekungan sungai Eufrat-Tigris).
Pertanyaannya, air itu berkah atau bencana? Pekan ini banjir kembali melanda kawasan Jakarta, Bekasi, Tangerang, Depok. Rasa sedih yang mendalam. Banyak saudara-saudara kita yang menjadi korban. Rumah, harta benda tenggelam, bahkan bertarung nyawa. Semalam, saya ikut bermusyawarah bersama warga sekitar dan tiga lurah di wilayah Tangerang Selatan, yang wilayahnya terdampak banjir. Kami duduk bareng mencari solusi.
Sejak dulu persoalan banjir adalah kerusakan alam akibat ulah manusia. Daerah hulu digunduli. Daerah resapan air, seperti rawa-rawa, embung, danau, situ, bantaran sungai, dengan gampang disulap menjadi kawasan perumahan oleh para pemilik uang. Herannya lagi, izinnya kok bisa keluar, yang sebetulnya sudah menjadi rahasia umum pula. Akhirnya warga berantem sendiri. Sayangnya, selalu dihadapkan pada situasi sudah telanjur/kadung terjadi. Solusinya pun cuma crash program yang short term, tidak substansial yang long term (permanen).
Sepanjang praktik sembrono perubahan alih fungsi lahan itu tidak dihentikan, maka akan terus berulang sampai kapan pun juga. Sudah saatnya mereka yang merusak lingkungan dimintai tanggung jawab. Negeri ini menganut equality before the law. Tak boleh ada pihak yang tak tersentuh hukum (untouchable). Di tangan orang serakah, melampaui batas, tidak taat/memperdayai aturan lingkungan, dan melawan sunatullah; air yang sesungguhnya berkah dari Tuhan, justru berubah menjadi bencana bagi warga masyarakat. Tampaknya nalar kita jauh di bawah level orang Mesir kuno dalam memperlakukan air.
Comments ( 0 )