Berhala-Berhala Modern

Berhala-Berhala Modern

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate

Suatu waktu saya pergi ke Gunung Kawi di Malang. Semua orang ngalap berkah di tempat pesugihan yang mulai muncul pada tahun 1940-an itu. Di depan dua makam, mereka memejamkan mata khusyuk berdoa. Mungkin cuma saya yang pura-pura memicingkan mata. Diam-diam saya amati mereka.

Beberapa hari tinggal di kompleks pasarean itu, ya semacam metode partisipasi dalam jurnalistik. Di lain waktu, saya berada dalam antrean di Lapangan Merah, di depan Kremlin, di jantung kota Moskwa. Saya mengunjungi pendiri Uni Soviet (kini Rusia): Lenin. Di mausoleum granit yang dibangun tahun 1930, persis di beranda Kremlin, jasad Lenin yang diawetkan, berjas warna gelap, dibaringkan telentang di sebuah sarkofagus kaca antipeluru. 


     Dua cerita itu adalah narasi tentang pemujaan. Sejak zaman primitif, pemujaan adalah bentuk kepercayaan manusia akan kekuatan di luar dirinya. Tersebutlah animisme (roh) dan dinamisme (kekuatan gaib). Maka, pemujaan bisa pada pohon besar, gunung, sungai, keris, batu, dan lain-lain. Lalu politeisme yang memuja banyak dewa, seperti di Sumeria, Akkadia, Mesir, Yunani era kuno. Bahkan, membuat patung sebagai simbol dewa atau Tuhan. Dan, mereka sembah sendiri, dengan segala prosesi ritualnya. Mereka adalah para penyembah berhala (paganisme).


    Sejak risalah tauhid dari langit (monoteisme) dan Allah mengutus para rasul, perang terhadap berhala-berhala itu pun dikumandangkan. Kita membaca patung-patung di kuil Raja Namrud dihancurkan Nabi Ibrahim (QS. As-Shaffat: 93) hingga berkeping-keping kecuali satu berhala yang dibiarkan (QS. Al-Anbiya: 58). Satu patung itu merupakan patung utama yang besar yang kemungkinan bernama Sin, dewa bulan bangsa Akkadia (Jerald Dirks, Ibrahim Sang Sahabat Tuhan, 2004). Nabi Musa menghancurkan patung anak sapi emas buatan Samiri yang disembah Bani Israil (QS. Thaha:  88).


    Nabi Muhammad dalam pembebasan Mekkah (Fathul Makkah) juga menghancurkan  semua berhala di Ka’bah. Ada sekitar 360 berhala. Di zaman para-Islam (jahiliyah), Mekkah merupakan titik pelintasan jalur pedagangan antara Syam dan Yaman. Setiap kafilah dagang membawa dewanya masing-masing. Beberapa berhala yang populer di antaranya al-Lata, al-Uzza, dan al-Manah; yang juga dewa-dewanya bangsa Nabasia. 


    Paling top adalah berhala Hubal yang dibawa dari Nabasia oleh Amru bin Luhay, pemimpin Bani Khuza'ah. Ada juga yang menyebut dibawa Khuzaimah bin Mudrikah. Lewat pengundian Hubal ini, Abdul Muthalib pernah akan mengurbankan anaknya, Abdullah, yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad. Tetapi lolos karena diganti dengan 100 ekor unta. Sejak pembebasan Mekkah, semua berhala itu dihancurkan. Setelah itu, nabi meminta Bilal untuk mengumandangkan azan di Ka’bah dan melanjutkan salat berjemaah. Keesaan Allah pun berkumandang di Ka’bah sampai hari ini.


    Hari ini, bentuk penyembahan berhala yang diartikan secara literal barangkali sudah tidak tampak. Tetapi esensi pemujaan atau penyembahan sepertinya berkeliaran di sekitar kita. Dulu cendekiawan Muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah mengungkapkan istilah “berhala modern”. Maksudnya segala hal yang merampas kemerdekaan pribadi manusia, atau sesuatu yang menguasai/mengendalikan kita, masuk kategori berhala modern. 


   Ketika televisi menghipnotis penonton di rumah-rumah hingga lupa waktu setelah maraknya saluran televisi swasta pada akhir 1980-an, cendekiawan Muslim lainnya, Jalaluddin Rahmat (Kang Jalal) bilang bahwa televisi telah menjadi “agama baru”. Artinya sesuatu yang membuat manusia tergantung, terkuasai, terkendalikan, atau diperbudak sehingga lupa dengan aktivitas normalnya; dapat dikategorikan pemujaan baru.  Pendek kata, sesuatu yang dipandang paling penting dalam hidup sehari-hari, dan bisa dianggap melampaui batas, yang di dalam Al-Quran disebut thaghut. 


    Sudah lama kita mengenal istilah “manusia mempertuhankan uang” ketika hidupnya semata untuk mencari uang sebanyak-banyak hingga melupakan aktivitas spiritual maupun sosial. Sesembahan baru bisa harta benda, seperti uang, rumah, kendaraan, dan sebagainya; bila diperoleh secara tidak halal, untuk kebanggaan, atau saling pamer. Media sosial sering dijadi ajang pamer (flexing), baik pamer harta atau perbuatan. Dalam banyak kasus, hartanya berasal dari korupsi atau cuma tipu-tipu demi konten. 


     Memang, di abad informasi sekarang ini, semua orang sangat tergantung pada alat komunikasi. Orang berlomba-lomba memiliki alat yang semakin canggih itu. Mereka rela antre puluhan jam untuk mendapatkan produk baru brand tertentu. Bahkan sampai terbang ke negara lain. Ya, ketergantungan pada smartphone agaknya sudah pada taraf kurang smart . Orang tidak masalah lagi kalau ketinggalan dompet di rumah. Tetapi orang akan merasa menghadapi bencana besar ketika lupa membawa handphone . 


    Runyamnya lagi, ketika sedang berbicara dengan seseorang, banyak di antara kita sering kali justru asyik main handphone sendiri, sehingga lawan bicara diabaikan (phubbing). Ini perilaku yang asosial. Berkomunikasi itu ada adabnya. Sering dilontarkan ungkapan satire, “zaman sekarang ini, yang jauh jadi dekat, tapi yang dekat  jadi menjauh”. Belum lagi menjadi sarang ujaran kebencian, hoaks, fitnah, hingga pertengkaran. Hidup kok cuma diartikan secuil handphone . Berdasarkan data yang dirilis State of Mobile (2024), Indonesia merupakan satu-satunya negara yang masyarakatnya bermain smartphone rata-rata di atas enam jam per hari.


    Begitulah, manusia bisa menuhankan apa saja, bisa harta, jabatan, kedudukan, pangkat, hobi, dan sebagainya. Bahkan bisa juga menuhankan akal (pikiran) atau diri sendiri. Segala cara akan dilakukan ketika semua materi itu diperlakukan sebagai tujuan (goals), padahal seyogianya materi adalah alat (tools). Jika begitu, semua materi itu menjadi sesembahan atau berhala-berhala modern. Tiba-tiba saya merasa nilai-nilai kemanusiaan manusia telah sirna. Tubuh dengan dua kekuatan, jiwa dan pikiran, seakan terjajah. Jiwa dan pikiran tidak lagi jadi pengendali, sudah terintrusi dan terkontaminasi dengan materialisme. Spiritualisme manusia telah pergi entah ke mana.


     Jadi teringat riwayat yang pernah saya dengar. Bahwa nabi bersabda,: “Akan datang suatu zaman atas manusia, perut-perut mereka menjadi Tuhan-Tuhan mereka. Perempuan-perempuan mereka menjadi kiblat mereka. Dinar-dinar (uang) mereka menjadi agama mereka. Dan kehormatan mereka terletak pada kekayaan mereka”. Nabi melanjutkan, “Waktu itu, tidak tersisa dari iman kecuali namanya saja. T

idak tersisa dari Islam kecuali ritual-ritualnya saja. Tidak tersisa Al-Quran kecuali sebatas kajiannya saja. Masjid-masjid mereka makmur, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk (hidayah-Nya). Ulama-ulama mereka menjadi makhluk Allah yang paling buruk di permukaan bumi”.  Sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka para penyembah berhala?” “Ya! Bagi mereka, setiap dirham (uang) menjadi berhala (dipertuhankan/disembah),” jawab Rasulullah.


      Merenung sejenak. Sebagai manusia zaman sekarang, saya juga merasa tidak bisa lepas dari handphone. Tambahan lagi pernah ke Gunung Kawi dan mengunjungi Lenin. Duh, jangan-jangan saya termasuk di antara para penyembah berhala modern? Naudzubillah min dzalik!