Dahsyatnya Ucapan “Insyaallah”
Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
Ketika Nabi Muhammad diangkat sebagai utusan Allah, orang-orang Quraisy penduduk Mekkah tidak percaya. Hanya satu-dua orang yang percaya. Mayoritas bangsa Quraisy menertawakan. Mereka menganggap lelucon, bahkan menuding Muhammad sudah tak waras.
Tetapi rupanya orang-orang Quraisy bimbang juga: jangan-jangan benar apa yng disampaikan cucu Abdul Muthalib, sang penjaga Ka’bah. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana membuktikan omongan nabi. Bangsa Quraisy tidak punya pengetahuan tentang kenabian. Mereka menganut paganisme, penyembah berhala. Maka, para pembesar Quraisy Mekkah pun berembuklah.
Akhirnya, disepakati orang Quraisy Mekkah akan bertanya kepada rabi Yahudi. Sebagai ahlul-kitab, orang Yahudi dipercaya memiliki pengetahuan mengenai kenabian. Komunitas Yahudi ada di Madinah. Lalu diutuslah dua orang perwakilan Quraisy, yaitu Nadhar bin Harits dan Uqbah bin Abi Mu’ith. Sesampai di Madinah keduanya segera menemui para rabi Yahudi dari Bani Nadhir dan Bani Quraizah.
Dua klan Yahudi ini bermigrasi dari wilayah Suriah. Di Madinah memang banyak klan Yahudi, yang kemungkinan bermigrasi sejak sekitar abad pertama Masehi; selain klan-klan yang datang dari Yaman. Sebelum berganti nama menjadi Madinah pada tahun 622, Madinah bernama Yastrib. Ada pendapat Yastrib orang Yahudi. Tetapi ada juga pendapat bahwa Yastrib adalah bangsa Amaliq, yang merupakan keturunan Nabi Nuh (Ibnu Zabalah, Akhbar Al-Madinah, 2003).
Di hadapan para rabi Yahudi itu, Nadhar dan Uqbah menceritakan tentang Muhammad yang mengaku nabi. “Sesungguhnya kalian adalah ahlul-Taurat , kami datang kepada kalian dengan harapan kalian mau memberitahu kami tentang sahabat kami,” kata kedua utusan Quraisy itu. Para rabi Yahudi itu menelisik bagaimana sosok dan perilaku Muhammad. Ingin memverifikasi ciri-ciri nabi seperti tercantum dalam Taurat. Berceritalah kedua utusan itu mengenai sosok Muhammad, tentang perilakunya, tutur katanya, karakternya.
Dua utusan itu menjelaskan apa adanya, bahwa Muhammad adalah orang yang baik. Tiada bercela. Muhammad bahkan mendapat julukan al-amin, orang yang dipercaya oleh penduduk Mekkah. Dari sisi personalitas, sepertinya rabi Yahudi tidak menyangsikan.
Namun, rabi Yahudi masih penasaran. Mereka perlu memverifikasi lebih jauh. Kemudian para rabi Yahudi itu memberi “bahan ujian” untuk ditanyakan kepada Muhammad. ”Tanyakanlah kepadanya tiga perkara yang kami perintahkan ini. Jika dia dapat menjawab tiga perkara ini, berarti dia memang seorang nabi, maka ikutilah.
Namun jika tidak dapat menjawabnya berarti dia hanya seorang pendusta, seorang yang banyak bicara, maka berbuatlah sekehendak kalian,” kata sang rabi yang dapat dibaca dalam Tafsir Ath-Thabari atau Tafsir Ibnu Katsir. Tiga perkara itu adalah tentang pemuda yang telah pergi pada masa yang pertama dan tentang perkara mereka yang ajaib, lalu tentang seorang laki-laki yang berkeliling dari Barat hingga Timur, dan tentang hakikat roh.
Nadhar dan Uqbah pun kembali ke Mekkah dan menghadap kaum Quraisy: “Wahai sekalian kaum Quraisy, kami telah mendatangi kalian untuk menjelaskan apa yang ada di antara kalian dengan Muhammad. Para rabi Yahudi itu menyuruh kami menanyakan kepada Muhammad tentang beberapa hal.” Keduanya mengulangi lagi tiga perkara yang disampaikan rabi Yahudi.
Ketika pembesar Quraisy menanyakan kepada Nabi Muhammad, sang nabi meminta waktu sampai esok hari untuk memberikan jawaban. Nabi berdoa dan berharap Allah memberikan petunjuk. Namun, besok tidak ada turun wahyu. Lusa tidak pula. Begitu pun hari berikutnya. Sampai 15 hari berlalu tidak tanda-tanda petunjuk Allah. Mulailah terjadi kasak-kusuk di kalangan penduduk Mekkah.
Bahwa janji Muhammad sudah lewat 15 hari. Dan, seperti sambaran api, gosip ( gibah ) pun viral dalam sekejap di kalangan Quraisy: “Muhammad telah menjanjikan kepada kita besok, dan sekarang telah 15 hari berlalu, tetapi ia tidak juga memberitahu kami tentang apa yang kami tanyakan kepadanya.” Bahwa Muhammad bukan seorang nabi pun diembuskan.
Nabi bersedih. Sebab, tidak ada petunjuk, tidak ada wahyu turun selama penantian itu. Padahal jawaban itu sangat penting bagi status “kenabian”. Nabi pun terpukul dengan kabar yang viral di Mekkah. Saat itulah malaikat Jibril datang kepada nabi, membawa surat Al-Kahfi.
Surat ini dibuka dengan ayat: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok; sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik “(QS. Al-Kahfi: 1-2).
Ayat-ayat itu menjelaskan tentang kebenaran Nabi Muhammad sebagai utusan Allah. Ayat itu menjawab pertanyaan yang diajukan orang Quraisy. Bahwa perkara pemuda adalah kisah pemuda ashabul kahfi yang tertidur di gua selama 306 tahun mempertahankan keimanan, lalu perkara laki-laki yang pergi ke Barat-Timur adalah kisah Zulqarnain, dan perkara roh hanya Allah yang tahu. Jadi, fiks nabi dapat menjawab pertanyaan yang berasal dari ahlul-kitab rabi Yahudi. Berarti Nabi Muhammad benar-benar utusan Allah.
Persoalannya, mengapa jawaban itu tertunda sampai 15 hari? Rupanya Allah memberi peringatan kepada nabi. Bahwa tidak boleh memastikan sesuatu atau perbuatan yang belum pasti atau belum dikerjakan. Seharusnya sampaikan dengan ucapan “insyaallah” (atas izin atau kehendak Allah).
“Dan jangan sekali-kali engkau mengatakan terhadap sesuatu, aku pasti melakukan itu besok pagi, kecuali (dengan mengatakan), ‘insyaallah’. Dan ingatlah kepada Tuhanmu apabila engkau lupa dan katakanlah, Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepadaku agar aku yang lebih dekat (kebenarannya) daripada ini” (QS. Al-Kahfi: 23-24).
Inilah dahsyatnya ucapan insyaallah. Sayangnya, di zaman sekarang, ucapan itu justru banyak disalahartikan. Seharusnya bermakna untuk “sesuatu/perbuatan yang belum dilakukan/belum pasti” malah berubah sebaliknya. Tidak sedikit yang menggunakan ucapan itu justru sekadar pembenaran bahwa tidak akan melakukan hal yang dikatakan. Kelihatannya sepele tetapi sesungguhnya bermakna sangat dalam. Tambah ribet lagi, sekarang banyak perdebatan mengenai cara menuliskan insyaallah. Ada yang inshaa Allah, yang biasa digunakan di negara-negara berbahasa Inggris.
Sebetulnya, itu soal transliterasi atau alih aksara dari bahasa Arab. Menurut kaidah bahasa Indonesia, tulisan yang tepat adalah insyaallah. Huruf sin besar itu sy. Kalau sh itu huruf shod. Tapi sekarang transliterasi bergeser shod menjadi s dengan titik di bawah. Kedua ejaan itu, menurut Gus Dhofir, pengampu kajian tafsir tematik NU Online, bisa dianggap benar selama huruf sy atau sh apabila merujuk pada huruf sin besar (www.nu.or.id, 23 Januari 2023). Insyaallah tidak menjadi perdebatan lagi.
Comments ( 0 )