Dead Horse 2: Antara Harun Masiku, Hasto, dan Sinetron Tanpa Akhir
Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
Metafora satir Kuda Mati, teori yang mengajarkan bahwa jika kita menemukan diri sedang menunggangi kuda yang telah mati, turunlah dan tinggalkan kuda itu. Namun, kenyataannya, justru yang sering kita temukan banyak individu dan institusi justru memilih untuk terus berusaha "menghidupkan" kuda mati tersebut dengan cara yang tidak masuk akal. Mereka mengganti pelana, memberikan makan pada kuda yang jelas-jelas tak bernyawa, atau bahkan membentuk komite untuk menyelidiki penyebab kematiannya, meski jawabannya sudah jelas.
Fenomena ini menggambarkan situasi yang sempurna untuk fenomena Harun Masiku, sosok buron yang seakan menjadi bayang-bayang abadi di panggung politik Indonesia. Diperparah dengan narasi Hasto Kristiyanto, tokoh yang ditersangkakan oleh KPK berada di belakang layar yang memutar alur cerita layaknya sutradara sinetron tanpa akhir, kasus ini menggambarkan bagaimana Teori Kuda Mati terjadi dalam politik kita.
Harun Masiku: Kuda Mati di Tengah Panggung Politik
Harun Masiku, seorang buronan dalam kasus suap Komisi Pemilihan Umum (KPU), menjadi simbol bagaimana sistem hukum di Indonesia terjebak dalam lingkaran paradoks. Bukannya menyelesaikan persoalan, berbagai pihak justru sibuk mengarang alur cerita baru yang semakin menjauhkan publik dari kebenaran. Sejak Harun dinyatakan buron, ada begitu banyak "pelana baru" yang dipasang pada kuda mati ini:
1. Penciptaan Narasi Kompleks
Bukannya mengakui kelemahan sistem yang gagal menangkap Harun, narasi yang dibangun malah semakin rumit. Ada spekulasi bahwa Harun masih berada di Indonesia, ada pula yang menyebut dia sudah berada di luar negeri. Namun, hingga hari ini, keberadaannya tetap misteri.
2. Komite dan Investigasi Tak Berujung
Alih-alih menyelesaikan kasus ini dengan langkah konkret, kita menyaksikan serangkaian rapat, investigasi, dan pernyataan resmi yang pada akhirnya tidak menghasilkan apa-apa. Publik hanya disuguhi janji bahwa "kasus ini masih dalam penyelidikan." Kuda mati tetap mati, tetapi semua pihak berpura-pura seolah ada kemajuan.
3. Ancaman yang Menyibak Kepengecutan
Di tengah kebuntuan kasus ini, Hasto Kristiyanto sempat melontarkan ancaman akan membuka kasus-kasus lain yang melibatkan pejabat-pejabat tertentu. Bukannya berfokus pada penyelesaian kasus Harun Masiku, ancaman ini justru menjadi bukti nyata dari kebuntuan dan kepengecutan yang tidak sepatutnya dimiliki seorang pemimpin. Sikap ini menunjukkan bagaimana seorang tokoh politik lebih memilih menakut-nakuti pihak lain dengan membuka "aib" yang tersembunyi, daripada mengambil langkah yang tegas dan bertanggung jawab. Ancaman seperti ini tidak hanya mencerminkan kurangnya integritas, tetapi juga ketakutan untuk menghadapi konsekuensi dari tindakan yang seharusnya diambil.
Hasto dan Partainya: Jebakan Salah Tingkah
Sikap dan pernyataan Hasto tidak hanya merugikan dirinya sendiri, tetapi juga menempatkan partai besar yang menaunginya dalam posisi "salah tingkah." Alih-alih menjadi kekuatan politik yang tegas dan konsisten, partai tersebut terjebak dalam situasi yang membuat mereka terlihat tidak berdaya:
1. Krisis Kepercayaan Publik
Publik semakin meragukan kredibilitas partai yang terus-menerus membiarkan narasi ini berlarut-larut tanpa penyelesaian. Setiap pernyataan yang disampaikan terasa seperti "dialog sinetron" yang berusaha menutupi kenyataan, bukannya menawarkan solusi nyata.
2. Ketidakmampuan Menentukan Arah
Ancaman dan pernyataan Hasto membuat partai terlihat seperti entitas yang lebih sibuk menyelamatkan citra internal daripada berperan sebagai aktor yang membawa perubahan. Ketidakmampuan mereka untuk "turun dari kuda mati" menjadikan mereka kehilangan arah dan fokus.
3. Konsekuensi Politik Jangka Panjang
Dengan membiarkan kasus ini berlarut-larut, partai besar ini menghadapi risiko kerugian elektoral yang signifikan. Publik tidak lupa, dan kasus seperti Harun Masiku bisa menjadi "hantu politik" yang terus menghantui di setiap pemilu berikutnya.
Walaupun terkadang dengan mempergunakan harapan bahwa "ingatan publik" selalu gampang tergantikan, tapi sejarah dan jejak digital tentu akan sangat mudah diberdayakan oleh kelompok bersebrangan.
Pelajaran dari Teori Kuda Mati
Kasus Harun Masiku dan peran Hasto dalam membelokkan narasi mengajarkan kita beberapa hal penting:
1. Keberanian untuk Mengakui Kegagalan
Salah satu inti dari Teori Kuda Mati adalah keberanian untuk mengakui bahwa sesuatu telah gagal. Dalam konteks Harun Masiku, sistem hukum dan politik kita jelas-jelas sedang menunggangi kuda mati. Namun, alih-alih mengakui dan mencari langkah baru, kita terus menyaksikan upaya pembenaran yang tidak produktif.
2. Pentingnya Kepemimpinan yang Tegas dan Bertanggung Jawab
Pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak terjebak dalam permainan ancaman atau taktik intimidasi. Ancaman Hasto menunjukkan bahwa ia lebih fokus melindungi dirinya sendiri daripada memperjuangkan keadilan atau integritas.
3. Publik Tidak Bisa Dibohongi Selamanya
Dalam sinetron, alur cerita yang berputar-putar mungkin membuat penonton penasaran. Namun, dalam kehidupan nyata, publik memiliki batas kesabaran. Jika kasus ini terus dibiarkan menggantung tanpa solusi, kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan politik akan semakin tergerus.
Saatnya Turun dari Kuda Mati
Kasus Harun Masiku dan peran Hasto Kristiyanto adalah cermin dari budaya kita yang terlalu sering menunda-nunda keputusan penting demi menjaga citra. Seperti dalam Teori Kuda Mati, kita harus berani mengakui bahwa ada sistem yang gagal dan membutuhkan reformasi. Publik tidak butuh sinetron tanpa akhir atau narasi yang membingungkan. Mereka butuh solusi konkret, transparansi, dan kejujuran.
Saatnya kita turun dari kuda mati dan mulai menempuh jalan baru. Karena hanya dengan keberanian untuk meninggalkan masa lalu, kita bisa melangkah menuju masa depan yang lebih baik. Kuda mati tidak bisa dihidupkan kembali, dan sinetron ini harus segera berakhir.
Comments ( 0 )