Kuasai Indonesia, Taklukkanlah Islam

Kuasai Indonesia, Taklukkanlah Islam

Oleh: M. Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate


   Di Masjid Kobe, saya tertegun melihat sebuah foto lama berbingkai tergantung di dinding. Foto hitam-putih bergambar Masjid Kobe, satu-satunya bangunan yang berdiri kokoh di antara reruntuhan kota. Masjid Kobe merupakan sedikit bangunan yang selamat dari pengeboman Amerika Serikat selama Perang Dunia II (1942-1945).  Masjid Kobe tetap tegak berdiri, tanpa kerusakan struktural. Bahkan menjadi tempat perlindungan penduduk setempat ketika kota dihujani bom dari pesawat. Itulah mukjizat.

 
   Bukan hanya itu, Masjid Kobe juga dapat bertahan dari gempa besar Hanshin tahun 1995, yang merenggut nyawa hingga 6.434 orang. Sebelumnya ketika banjir besar melanda Kobe tahun 1938, masjid juga tetap utuh. Karena kekokohannya itu tak heran dijuluki “masjid ajaib”. Dipercaya konstruksi dan fondasi beton bertulangnya yang memungkinkan bangunan masjid dapat bertahan dari gempuran perang maupun bencana alam.


    Rasa heran dan kagum ketika mengelilingi areal masjid. Gaya arsitekturnya adalah kombinasi pengaruh tradisi Indo-Islam dan Asia-Turki. Perancangnya adalah arsitek asal Ceko, Jan Josef Svagr (1885–1969), yang tentu saja juga memadukan dengan unsur-unsur Jepang.  Dengan pola geometris yang cukup rumit. Bangunan dengan menara tinggi itu  punya tiga lantai dan satu lantai basement. Kubahnya besar, dengan struktur kayu dan atap tembaga, dengan perpaduan warna gelap dan hijau muda, menjadi makin mencolok. Jendela dengan kaca patri berwarna kuning tampak makin elegan. 


    Berada di dalam masjid, terasa tenang dan damai sembari memandangi interiornya yang cantik. Dengan desain eksterior yang unik membuat keberadaannya cukup mencolok di tengah-tengah kawasan wisata terpopuler dan pusat orang asing di jantung Kitano-Cho, Kobe, Prefektur Hyogo. Saya berhenti sejenak, berteduh di dalam masjid yang adem. Apalagi karpetnya lembut bikin asyik duduk saat menanti tibanya waktu salat ashar. 


    Masjid Kobe ini termasuk masjid pertama di Jepang. Diresmikan tahun 1935, setelah konstruksi sejak tahun 1928 oleh Takenaka Corporation. Sejak awal abad ke-20, terutama pasca Perang Dunia I (1914-1918), banyak pedagang Muslim mendirikan kantor di Kobe. Komunitas Muslim pun terbentuk, di antaranya dari India, Turki, Tatar yang melarikan diri dari Uni Soviet (kini Rusia) pasca Revolusi Bolshevik 1917. Boleh dikata pada sekitar pertengahan tahun 1920-an itulah orang Jepang menemukan Islam.


    Penjelasannya lembaga-lembaga urusan studi Islam bermunculan. Juga majalah-majalah yang mengupas persoalan Islam. Pada tahun 1933, malah mencuat propaganda yang mengarah Jepang menjadi pelindung Islam. Langkah berikutnya mengirim mahasiswa untuk belajar ke Mesir dan Arab, sekaligus mendatangkan guru-guru dan mahasiswa Islam dari dari Timur Tengah maupun negara Asia lainnya. Termasuk pendirian Masjid Kobe ini, yang merupaka era “penemuan” Islam di Jepang.


    Nah, dari Masjid Kobe ini kita dapat menjalin puzzle-puzzle sejarah penjajahan Jepang di Indonesia.  Rencana Jepang menduduki Indonesia  bukan niat sesaat, melainkan grand design yang sudah dirancang lama dengan segala strateginya. Tetapi bukan Belanda yang ditakuti. Jepang justru konsentrasi bagaimana menaklukkan rakyat Indonesia. 


     Tentang ini kita bisa baca referensi tentang Snouck Hurgronje yang melakukan strategi sama untuk menaklukkan Aceh. Bahkan ia sampai belajar ke Mekkah, mengganti nama  Abdul Ghaffar, hingga pengakuan masuk Islam yang kontroversial. Kepergiannya ke Mekkah untuk mempelajari pengaruh fanatisme Islam atas sikap orang Aceh (Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, 1985). Aceh pun menjadi daerah terakhir yang ditaklukkan Belanda. 


        Jadi, senyampang dengan perkembangan Islam di negerinya, Jepang mengamati bahwa kekuatan rakyat Indonesia terletak pada umat Islam-nya. Jepang tidak keliru. Sejak awal abad ke-19, Islam menjadi kekuatan yang sangat merepotkan Belanda. Saat itu umat Islam mulai terorganisir, terutama sejak kepulangan para kiai yang menunaikan haji dari Tanah Suci Mekkah.

 

Gerakan Padri di Minangkabau (1803-1838), yang semula gerakan purifikasi Islam melawan kelompok adat pada akhirnya menjadi kekuatan perlawanan rakyat Sumatera terhadap Belanda. Pangeran Diponegoro memberi perlawanan sengit kepada Belanda dalam Perang Jawa (1825-1830). Meskipun awalnya respons terhadap intervensi Belanda dalam urusan internal kesultanan Yogyakarta tetapi berkembang menuntut wilayah Islam yang merdeka. Di Banten terjadi pemberontakan petani yang menggegerkan pada tahun 1888. Aktor penggeraknya adalah para kiai dan para haji.    


     Jiak ingin menguasai Indonesia, adalah pilihan sulit jika harus menghadapi dua lawan sekaligus: Belanda dan umat Islam Indonesia. Maka dalam situasi seperti itu biasanya berlaku strategi “pukul dan rangkul”.  Sudah pasti mereka akan memukul Belanda, dan merangkul umat Islam Indonesia. Jika umat Islam bersatu takkan terkalahkan. Kekuatan itu diincar Jepang untuk diorganisasi dan dimobilisasi  demi kepentingan Jepang. Karenanya, apa pun dilakukan untuk merangkul guna “menaklukkan” umat Islam.


     Karena itu, motivasi dan perhatian besar Jepang kepada Islam sesungguhnya adalah bagian rencana ekspansionisme Jepang (Harry J Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, 1980). Argumentasi tersebut sangat logis mengingat komunitas Muslim di Jepang yang sedikit itu umumnya juga warga asing. Orang Jepang yang Muslim bisa dihitung dengan jari. Artinya, sulit dipahami perhatian Jepang yang begitu besar pada Islam demi kepentingan umat Islam Jepang yang segelintir itu. Motif lain akan lebih masuk akal.


     Kita dapat menjalin tali-temali di balik gercep-nya Jepang dalam urusan Islam. Saat pembukaan Masjid Kobe sudah berembus narasi Masjid Kobe sebagai “Mekah Jepang”. Pada tahun 1938 didirikanlah Perserikatan Islam Jepang dipimpin Jenderal Senjuro Hayashi. Berikutnya digelar pameran Islam di Tokyo dan Osaka pada 5-20 November 1939. Ini luar biasa, Jepang menjadi pusat perhatian dunia Islam. Bulan sebelumnya, ketika digelar konferensi Islam, Jepang mengundang MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia). MIAI adalah federasi organisasi Islam di Indonesia yang didirikan pada tahun 1937.


     Pada tahun 1939, seorang ahli Islam Jepang Prof T Kanaya dikirim ke Indonesia. Kanaya diberi tugas untuk memonitor langsung dan melakukan kontak-kontak dengan umat Islam Indonesia. Namun, ruang gerak Kanaya agak sulit karena mendapat kawalan aparat kolonial Belanda. Pada tahun 1941, kelompok nasionalis sudah melakukan hubungan dengan intelijen  Jepang.

Propaganda Jepang yang anti-Barat telah menarik simpatik umat Islam Indonesia. Sebab, sama-sama anti-Barat, saudara tua, pelindung Asia, dan lain-lain. Maka, ketika Jepang menyerbu tahun 1942, tidak menemui kesulitan dari bangsa Indonesia. Daerah basis Islam, seperti Aceh dan Minangkabau, pun menyambut kedatangan Jepang. Jepang paham, untuk mencaplok Indonesia, “taklukkanlah” umat Islam.