Peran Strategis Pedagang Limbah Kayu Hutan Perlu Diapresiasi
Oleh: Transtoto
KABARINDO, JAKARTA - Pedagang limbah kayu hutan khususnya yang banyak berada di sekitar hutan Perum Perhutani sementara ini masih dianggap pencari rente belaka.
Padahal perannya sangat penting dalam mendistribusikan perekonomian rakyat serta rantai pelestarian sumber daya hutan, penjaga kesuburan tanah serta mengendalikan bencana lingkungan dan proses regenerasi hutan.
Demikian rangkuman pendapat ahli kehutanan dan ekonomi lingkungan Dr. Transtoto Handadhari kepada Kabarindo.
"Salah satunya limbah tebangan pohon jati, dengan cepat dibersihkan oleh kegiatan pedagang limbah kayu yang menumbuhkan rangkaian tenaga kerja, multi-usaha, rantai kesejahteraan dan keahlian masyarakat", jelasnya.
Daerah hutan Blora seperti Cepu, Randu, Grobogan, Bojonegoro, Ngawi, Kebon Harjo, Jatirogo dan lainnya merupakan sentra pengusaha limbah kayu Jati di Jawa Tengah dan Timur.
"Diperkirakan sebanyak 40 persen kekayaan Perhutani berasal dari wilayah hutan Blora Raya itu", kata mantan Dirut Perhutani yang juga dikenal memecahkan rekor MURI, dan konon jugarekor dunia, menjual pohon jati mati seharga Rp1 milyar di KPH Cepu (2007).
Transtoto menyayangkan kini banyak kawasan hutan yang rusak antara lain di KPH Bojonegoro, Padangan, Pati, Cepu, Ngawi. Meskipun secara umum hutan jatinya masih relatif lebih baik daripada lainnya.
Melihat pentingnya peran pengusaha limbah kayu tersebut yang aktif antara lain ditunjukan oleh Sudiman Sotol, Lilik Nurhidayati, Asih Indah Rustina, Gareng Ngliron, Siswanto dan banyak lainnya, pemerintah justru wajib melindungi usaha mereka serta memberikan subsidi kemudahan ijin dan proses kerjanya", saran Transtoto.
Transtoto juga membandingkan kebijakan mendayagunakan masyarakat hutan di Indonesia dan masyarakat hutan di British Columbia, Kanada.
Di sana sejak lama dibentuk lembaga CORE (Comission on Resources and Environmen).
Sebuah lembaga masyarakat yang dilindungi Undang-Undang, berwenang menyampaikan koreksi terhadap langkah kebijakan bahkan rencana kegiatan Kementerian yang berwenang mengurus hutan.
"CORE" yang bisa berisi perwakilan masyarakat desa hutan, aparat desa, pakar dan pencinta lingkungan bahkan dapat membatalkan rencana kegiatan pemerintah apabila dinilai merusak, bahkan bisa menolak sekedar rencana lmembuat hutan tidak estetik.
"Kondisi sosial dan pendidikan masyarakat kita memang berbeda. Kesadaran akan tanggungjawabnya terhadap kelestarian lingkungan juga kemampuan penggunaan tehnologinya masih rendah. Tapi kita sudah harus bisa memulai memberikan peran pemuliaan hutan secara lebih bertanggungjawab antara lain dalam ikut mengendalikan bencana lingkungan, dan kegiatan tanpa kecurangan, termasuk kepada pedagang limbah kayu", tegas Transtoto.
"Timbal balik kebijakan tersebut berupa kesadaran pentingnya tidak merusak hutan akan meningkat, dan praktik illegal logging dapat dikendalikan", tutup rimbawan UGM Yogyakarta yang sedang menggeluti proses caleg DPR-RI dari Partai Perindo di DAPIL Jateng 3 wilayah Blora Raya itu.
Comments ( 0 )