RUDY ALFONSO

RUDY ALFONSO

Namanya terdengar seperti orang Spanyol. Atau Portugis. Saya mengenalnya semenjak saya kecil. Di kampung, Mambi, nun di punggung pegunungan Quarles di Sulawesi Barat. Usianya terpaut tujuh tahun di atas saya. Ibunya seorang guru, ayahnya petani. Saya memanggilnya Kakak.

Puluhan tahun setelah Indonesia merdeka, kami masih hidup dalam kepompong halimun gunung. Tak ada suara mobil. Hanya ringkik kuda dan kokok ayam kampung yang bersahutan setiap pagi dan petang. Untuk sampai ke kota, kami berjalan kaki atau berkuda menembus belantara -- 30 km jalan kaki ke Malabo, atau 48 km ke Mamasa, atau hampir 100 km ke ibukota kabupaten (saat itu) Polewali.

Setiap hari, jika hendak ke sungai untuk bermain, mandi, atau mencuci pakaian, saya berjalan kaki lewat depan rumahnya, kadang-kadang mampir untuk memetik jambu air di pekarangan.

Mobil dalam bentuk fisik baru sampai ke sana di tahun 1987 saat saya sudah duduk di bangku SMP. Sebelumnya, mobil hanya ada di gambar kalender dan buku sekolah. Kami sering melihat pesawat – yang terbang melintas di langit melewati pucuk Buntu Pepana, meninggalkan jejak panjang bagaikan ekor naga putih di awan-awan.

Di kampung kami yang menjadi idola adalah para tokoh sakti yang nama-namanya kerap terbawa sampai ke dalam mimpi. Ada jago silat Linci, Baco Buta, Idi, Saing – jagoan-jagoan yang dipercaya punya ilmu kanuragan Sala Ujung untuk berkelit dari pukulan dan peluru, kekuatan Sorong Sappiku. Tentu juga sang satria bergitar, Rhoma Irama, yang suaranya kerap terdengar dari siaran radio AM yang sampai ke gunung.

Begitulah. Waktu berlalu dan kami merantau, berpisah jalan, ke kota untuk melanjutkan sekolah dan mencari penghidupan. Pergi ke mana takdir mengayun. Saya ke Toraja, lalu Makassar. Saya dengar Kak Rudy ke Parepare, lalu entah ke mana.

Belasan tahun kemudian, sekitar tahun 2000, kami bertemu di Jakarta. Kakak saya ini, Rudy Alfonso, baru pulang dari luar negeri. Rupanya ia telah bermukim di Wina, Austria. Ia menjadi diplomat. Saya sungguh takjub: Kak Rudy yang dulu kerap mandi dan mencuci pakaian di Sungai Mambi, sudah bekerja di kedutaan di luar negeri.

Sejak pertemuan itu, kami tak lagi berjauhan. Ia membangun sebuah kantor dan saya ikut menjadi anak buahnya.

Di tahun 2010, saya menemaninya pulang kampung ke Mambi. Ini foto kami berdua, di jalan menjelang kampung, dengan latar Buntu Pepana, gunung berbentuk kerucut yang selalu saya ingat sebagai tempat paling angker: dihuni monyet dan orang bunian. Sebuah perjalanan nostalgia, menekuri waktu-waktu indah yang telah lama hilang.

Mambi telah berubah. Mobil sudah terparkir di banyak garasi rumah. Tapi keriaan bertemu teman-teman kecil tak berubah: kami berceloteh berbahasa Mambi -- aka umbabe, beleke la’o, menna boung iting ke sara -- menginap di rumah keluarga masing-masing dengan meriung dalam sarung, dan berziarah ke makam ayahanda.

Lalu pulang ke Jakarta membawa sepotong ingatan yang indah tentang kampung halaman.

Begitulah. Hari ini di Jakarta, Kak Rudy Alfonso datang ke Istana Merdeka. Ia dilantik menjadi Duta Besar Republik Indonesia untuk Portugal. Untuk sekian tahun ke depan, ia akan berkantor di Lisabon, di negeri Christiano Ronaldo.

Dari pojok Jakarta yang lain, saya menyampaikan ucapan selamat dan rasa bangga. Semoga Kak Rudy sukses menjadi duta besar, membawa nama Indonesia di negeri o