Sanggar Lidi Surabaya Pentaskan “Grafito” dari Karya Akhudiat, Kisah Cinta Beda Agama

Sanggar Lidi Surabaya Pentaskan “Grafito” dari Karya Akhudiat, Kisah Cinta Beda Agama

Sanggar Lidi Surabaya Pentaskan “Grafito” dari Karya Akhudiat, Kisah Cinta Beda Agama

Dana dari gotong royong dan hasil penjualan tiket

Surabaya, Kabarindo- Sanggar Lidi Surabaya menggelar acara Dharma Seni Untuk Negeri VI berupa pementasan teater "Grafito" di panggung Balai Pemuda Surabaya pada Selasa (12/11/2024) malam.

Pertunjukan tersebut mementaskan naskah "Grafito" karya maestro teater Surabaya, Akhudiat, pada 1972. Grafito disutradarai oleh Totenk MT Rusmawan, sekaligus mengadaptasi naskah yang disesuaikan dengan karakter Sanggar Lidi Surabaya.

Menurut Totenk, Grafito dipentaskan sebagai bentuk penghormatan kepada Akhudiat yang telah mengabdikan lebih dari 75 tahun hidupnya pada dunia teater dan sastra sebelum berpulang pada 7 Agustus 2021.

“Dharma Seni Untuk Negeri VI bersama Sanggar Lidi Surabaya mempersembahkan lakon ini sebagai dedikasi bagi kontribusi Akhudiat terhadap seni panggung,” ujarnya.

Totenk mengatakan, Grafito tetap relevan dengan realitas sosial Indonesia saat ini, mencerminkan dinamika antar agama serta konflik yang muncul dari perbedaan tersebut.

“Grafito masih relevan dengan kondisi di Indonesia saat ini. Pertunjukan ini menjadi kritik terhadap hukum yang tidak menaungi perkawinan beda agama,” ujarnya.

Ditulis dalam satu babak dengan dua puluh adegan, Grafito mengisahkan romansa Limbo dan Ayesha, sepasang kekasih yang berbeda agama. Limbo beragama Katolik, sedangkan Ayesha gadis muslim. Mereka ingin menikah, namun terbentur oleh perbedaan agama. Cinta mereka menghadapi tantangan besar yang menguji komitmen, prinsip serta pandangan keluarga dan masyarakat maupun pemuka kedua agama.

Pementasan tersebut didukung oleh Bupala dengan Ndimas Narko sebagai penata musik. Mereka menghadirkan tembang-tembang Jawa di antaranya Cublek-Cublek Suweng, Metnhok-Menthok dan Padang Bulan, yang menurutnya cocok untuk mengiringi pertunjukan tersebut.

Grafito melibatkan 22 pemain dewasa dan 6 pemain anak dari berbagai kota dengan beragam latar belakang dan profesi. Mereka berasal dari Surabaya. Sidoarjo, Gresik hingga Mojokerto, mulai mahasiswa, guru, karyawan hingga seniman.

Totenk menjelaskan, latihannya selama 4 bulan untuk menumbuhkan chemistry dan harmonisasi di antara para pemain maupun kru.

Ia menyayangkan tak ada dukungan dari pihak swasta maupun pemerintah kota ataupun provinsi. Pihaknya harus mengeluarkan biaya untuk menyewa gedung dan peralatan dari hasil penjualan tiket serta dana kolektif dari rekan-rekan yang menginginkan pementasan Grafito bisa terlaksana. Tiket dibandrol Rp.50 ribu / lembar.

“Rencana semula, pertunjukan akan berlangsung 2 malam. Tapi akhirnya cuma satu malam untuk memangkas biaya sewa gedung. Dananya gotong royong dari dukungan rekan-rekan dan hasil penjualan 300 lembar tiket,” paparnya.

Ali Mas’ud, pimpinan produksi, juga menyayangkan nihilnya respon dari para pihak terkait. “Apa teater dianggap tidak menarik sehingga diabaikan ya?”

Ia mengapresiasi mereka yang telah membantu pementasan Grafito dan optimis pertunjukan ini akan berlangsung sukses.