Syukur

Syukur

Bagian 2

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute

KABARINDO, JAKARTA - Pada hari-hari terakhir hidup Sayidah Fathimah Azzahra, putri tercinta Rasulullah ﷺ, tubuhnya lemah namun wajahnya tetap memancarkan cahaya keimanan. Ali bin Abi Thalib, suaminya yang penuh kasih, duduk di sisinya. Dengan suara lembut, ia berkata,
“Duhai istriku tercinta, aku tahu dalam waktu dekat engkau akan berjumpa dengan ayahmu, Rasulullah ﷺ. Bolehkah sekali ini aku memohon, mintalah sesuatu dariku. Biarlah aku memenuhinya.”

Fathimah tersenyum lembut, menyentuh tangan Ali, dan berkata,
“Bagaimana mungkin aku meminta sesuatu kepadamu, wahai suamiku, sedang aku telah bersyukur atas segala karunia Allah karena dapat mendampingi dirimu, imamku tercinta.”

Namun, Ali bersikeras, “Tidak, sekali ini saja, izinkan aku memenuhi keinginanmu. Mintalah sesuatu.”

Fathimah tersenyum dan akhirnya berkata, “Baiklah, kalau begitu, aku ingin sekali memakan buah delima. Satu saja cukup.”

Ali pun bergegas pergi ke pasar untuk mendapatkan buah delima. Dalam perjalanan, ia bertemu seorang lelaki tua yang sedang kesulitan dengan gerobaknya. Roda gerobak itu terlepas, dan barang-barangnya berjatuhan. Tanpa berkata-kata, Ali membantu memperbaiki roda itu dan mengembalikan barang-barang ke tempatnya.

Ketika selesai, lelaki tua itu berkata, “Duhai pemuda, kau terlihat terburu-buru. Ke mana tujuanmu?”

Ali menjawab, “Maaf, aku hendak ke pasar untuk membeli buah delima.”

Lelaki tua itu berkata, “Pasar sudah tutup. Aku yang terakhir dari sana. Kebetulan aku baru saja membeli delima. Ambillah berapa pun yang kau perlukan.”

Ali pun mengambil satu buah delima dan berterima kasih, lalu segera kembali ke rumah. Namun, di tengah perjalanan, ia bertemu seorang pengemis yang memeluk perutnya sambil meringis kelaparan.

Pengemis itu berkata, “Kasihani aku, Tuan. Aku sangat lapar.”

Ali memandangnya dengan senyuman dan berkata, “Aku hanya memiliki satu buah delima. Tetapi, tampaknya engkau lebih membutuhkannya.” Ia pun memberikan buah delima itu kepada pengemis tersebut.

Ali kembali ke rumah tanpa membawa apa-apa, tetapi wajahnya memancarkan kebahagiaan. Ketika Fathimah melihatnya, ia bertanya,
“Duhai suamiku, Imamku, mengapa engkau tersenyum? Aku tidak melihat engkau membawa delima.”

Ali menjawab, “Aku baru saja berdagang dengan Allah. Tunggu sebentar, keuntungannya akan datang.”

Tidak lama kemudian, terdengar suara lembut di luar rumah yang mengucapkan salam. Ketika Ali membuka pintu, ternyata yang datang adalah Salman Al-Farisi. Setelah salamnya dijawab, Salman berkata,
“Wahai Ali, aku membawakan seuatu untukmu.” Ali pun berkata, Alhamdulillah, buah delima kan?” Salman takjub. “Betul” dan mengeluarkan sembilan buah delima.

Ali tersenyum dan berkata, “Tidak mungkin sembilan. Mestinya sepuluh. Mana buah yang satunya?”

Salman makin takjuby, lalu merogoh sakunya dan menemukan satu buah delima lagi.
“Betul, sebenarnya sepuluh,” katanya. “Yang memberikan delima ini hanya mengatakan, ‘Berikan buah ini kepada Ali bin Abi Thalib. Ini hasil dagangnya. Jangan sebutkan nama buahnya; dia akan menjelaskan kepadamu.’”

Ali tersenyum penuh kehangatan. Ia berkata,
“Saya telah berdagang dengan Allah. Dia adalah sebaik-baik pemberi rezeki.”

Syukur sebagai Kepastian

Kisah ini mengajarkan kepada kita bahwa syukur bukan hanya menerima apa yang Allah berikan, tetapi juga berbagi dari apa yang kita miliki, bahkan dalam keterbatasan. Ali bin Abi Thalib menunjukkan bahwa berbagi, meskipun tampaknya merugikan secara duniawi, sebenarnya adalah perdagangan dengan Allah yang tidak pernah mendatangkan kerugian.

Allah selalu mengganti apa yang kita berikan dengan balasan yang lebih besar, baik di dunia maupun di akhirat. Syukur sejati adalah berdagang dengan Allah: memberikan kepada orang lain, meyakini bahwa pemberian itu tidak akan mengurangi rezeki kita, tetapi justru melipatgandakannya.

Inilah esensi syukur: keyakinan penuh kepada Allah, Sang Pemilik segala sesuatu. Syukur adalah kepastian bahwa setiap kebaikan yang kita lakukan akan kembali kepada kita dengan balasan yang lebih besar, karena Allah tidak pernah menyia-nyiakan amal hamba-Nya.

Dan pada akhirnya, syukur bukan hanya tentang menerima, tetapi juga tentang memberi—karena Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang menebar kebaikan di dunia.