Ayo Pungut Sampah Di Labuhan Bajo; Jadi Ancaman Serius
Jakarta, Kabarindo- JUMLAH wisatawan dan penduduk yang terus meningkat menimbulkan efek samping besar bagi Kota Labuan Bajo dan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di NTT.
Sampah menumpuk di darat, menggenang di laut, menanti pekik histeris para turis. Sore yang indah di Atlantis on The Rock. Ini adalah sebuah restoran dan bar yang ada di puncak tebing di Plataran Komodo Resort and Spa, Kota Labuan Bajo. Sunset segera menjelang, makanan dan minuman berlimpah. Sungguh menyenangkan.
Di satu titik, CEO Plataran Indonesia, yang mengelola lokasi tersebut, Yozua Makes tengah bersiap. Dia akan diwawancarai jurnalis sebuah stasiun televisi nasional. Dengan latar laut yang sebentar lagi akan memerah, visualnya akan terlihat indah.
Wawancara baru saja akan dimulai, tapi Yozua tiba-tiba melihat ke bawah, ke tepi pantai yang berjarak sekitar belasan meter dari atas restoran. Wajahnya terlihat tak senang. Rupanya ada sampah botol plastik air mineral terselip di antara bebatuan, mungkin terbawa arus dari laut.
Jumlahnya memang hanya satu, tapi apa jadinya jika terlihat oleh tamu resor, yang mayoritas adalah turis mancanegara? Tentu bikin ilfeel. “Kami punya beach boy. Tiap pagi tugasnya membersihkan sampah yang nyasar ke pantai di Plataran. Tapi, ya siang atau sore datang lagi sampah baru dari laut,” ujar Corporate Director of Sales Plataran Indonesia Anasthasia Handayani yang ditemui KORAN SINDO sehari sebelumnya.
Plataran Komodo memang berada persis di pinggir Pantai Waecicu. Menurut Yozua, masalah sampah di Labuan Bajo mulai meningkat sejak empat tahun lalu. Dia menyebut, ini akibat pertumbuhan pesat yang tak sebanding dengan kemampuan kota tersebut, salah satunya karena melonjaknya jumlah wisatawan. “Pemda kaget, masyarakat kaget,” katanya.
“Sementara kalau tamu saya lihat sampah di laut, mereka bukan lagi kecewa, tapi marah. Mereka bisa tidak mau lagi ke sini.” Sebagai pengusaha pariwisata, ini tentu jadi hal yang berbahaya bagi Yozua. Apalagi, 90% tamunya adalah wisatawan asing kelas atas.
“Bunuh diri namanya kalau sampah di sini tidak dikelola dengan baik. Pariwisata bisa hancur,” ujarnya. Tak mau mengecewakan tamu dan merusak lingkungan, Yozua pun menerapkan penanganan sampah secara modern.
Untuk penanganan air limbah sisa dari makanan dan kotoran manusia yang dihasilkan di Plataran, dia menggunakan alat produksi Jepang yang menggunakan mikrobakteri. Setelah “diperas” dari kotoran yang berbentuk padat, air yang dihasilkan dari limbah tersebut bisa digunakan kembali untuk menyiram tanaman dan toilet. “Alat ini juga yang dipakai di Istana (Negara),” ujar Yozua.
Kondisi memprihatinkan
Yang dilakukan Plataran Indonesia untuk seluruh restoran dan resornya tentu membuat hati siapa pun senang dan tenang. Namun, menurut Yozua, yang diterapkannya itu masih sangat sedikit diikuti para pengusaha pariwisata di Labuan Bajo.
Hal ini ditambah dengan masih belum maksimalnya usaha pemerintah daerah setempat untuk menangani masalah sampah, baik yang ada di darat maupun di laut. Di darat, sampah mayoritas berasal dari rumah tangga.
Sementara di laut, sampah selain datang dari para penduduk pulau, juga dari kapal wisata dan kapal-kapal tanker asing yang lewat untuk menuju Samudra Hindia atau Australia. Jejak sampah yang dibuang dari kapal tanker atau kapal wisata bisa dilihat di Pantai Wae Rana, sekitar 4 kilometer dari wisata Gua Batu Cermin.
Pembersih dengan merek-merek dari luar, salah satunya dari Korea Selatan, berkumpul di tepi pantai. Selebihnya adalah sampah plastik berupa gelas dan botol air mineral. Sangat jelas bahwa sampah-sampah tersebut “terdampar” akibat arus dari laut.
Menurut Agustinus Rinus selaku Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Manggarai Barat, Kota Labuan Bajo menghasilkan sampah hingga 12,8 ton per hari atau setara dengan 112, 4 m3. Yang menyedihkan, data dari dokumen Perencanaan Teknis Manajemen Persampahan (PTMP) dan Detail Engineering Design (DED) Kota Labuan Bajo Kabupaten Manggarai atas prakarsa Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Dirjen Cipta Karya, Satuan Kerja Pengembangan Sistem Penyehatan Lingkungan Permukiman Provinsi NTT, 53% dari sampah tersebut dibakar.
Lalu sampah yang ditimbun sebanyak 20%, dan masuk ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS) sejumlah 20%. Hanya 7% yang diolah. Itulah kondisi tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Labuan Bajo di Dusun Kaper, Desa Golo Gilas, sampah di sana juga dibakar seperti dilansir dari laman OkeZone.
Comments ( 0 )