Beragama Versus Beriman
Oleh: M Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate
"Walaupun saya jarang salat, tetapi kalau agama saya dihina, saya akan bela mati-matian, saya akan berjihad." Kalimat itu diucapkan oleh teman atau sekelompok orang, yang sampai hari ini masih terus mengusik pikiran.
Sungguh salut pada orang-orang yang memiliki ghirah jihadnya membela agama begitu tinggi. Itulah yang seharusnya dimiliki, yang mana saya merasakan masih sangat jauh untuk mencapai ke level itu. Namun, menariknya, di telinga, kalimat itu terdengar kontradiktif. Penggalan kalimatnya saling menegasikan.
Mari kita diskusikan. Ada ungkapan paling populer yang diperkenalkan sejak di madrasah tingkat dasar atau saat memulai belajar mengaji di langgar (surau). Bahwa salat itu adalah tiang agama (assholatu 'imaduddin). Ungkapan itu berasal dari hadits yang di- tahqiq Syekh Abu Ishaq Al-Huwainy.
Kalimat lengkapnya adalah “Salat adalah tiang agama, siapa yang mendirikan salat, berarti ia menegakkan sendi-sendi agama, dan siapa yang meninggalkan salat, berarti ia telah meruntuhkan sendi-sendi agama.”
Jelas bahwa salat dan agama berhubungan sangat dekat, saling memengaruhi. Agama akan tegak ketika salat dikerjakan. Tetapi ketika salat ditinggalkan, otomatis agama runtuh. Jadi sebetulnya orang yang jarang/tidak salat itulah yang meruntuhkan agama.
Artinya dia telah menghina agamanya sendiri. Seharusnya dia berjihad melawan dirinya sendiri. Jika selesai dengan dirinya, dia akan kuat menghadapi musuh-musuh yang hendak menghancurkan agamanya.
Memang sering ditemui tidak sedikit orang yang bereaksi secara impulsif, tergesa-gesa, tanpa pemahaman atau pertimbangan yang lebih matang. Mesti disadari pula bahwa pemahaman terhadap agama tidak sama setiap orang, terlebih lagi jika berbicara soal tafsir agama. Banyak orang melihat agama secara kasatmata dan simbolik, dan mereduksi menjadi persoalan agama.
Misal, ada orang yang menghalangi orang-orang usai salat tarawih di masjid dianggap menghalang-halangi agama. Ada restoran atau warung makan buka di bulan puasa ramai-ramai digerebek dan disegel karena dianggap melanggar perintah agama.
Jadi beragama itu seperti apa? Agama adalah universal. Tetapi dipahami berbeda oleh orang yang berbeda, bahkan definisinya saja tidak sama. Dalam bahasa Inggris, disebut religion, yang berasal dari bahasa Latin, religare. Maknanya "mengikat" atau juga "berhati-hati". Paling umum dipercaya dari bahasa Sanskerta, yaitu “tidak kacau”. Dalam Islam dikenal istilah din (bahasa Arab).
Secara etimologi, makna kata din setidaknya ada empat: keadaan berutang, tunduk atau penyerahan diri, kekuatan hukum dan kehendak hati/kecenderungan alamiah. Maka Syed Naquib Al-Attas dalam Prolegomena To The Metaphysics Of Islam_ (1995) mendefinisikan konsep din adalah suatu sistem ajaran yang menyiratkan ketundukan kepada Tuhan, dan adanya perasaan berutang dalam ruh manusia karena Tuhan telah membawa manusia dari alam pra-ada kepada ada.
Sementara Emile Durkheim dalam The Elementary Forms of The Religious Life: Sejarah Bentuk-bentuk Agama yang Paling Dasar (2011), mendefinisikan agama sebagai sistem kepercayaan dan praktik-praktik terhadap hal-hal suci atau sakral. Bagi KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri Muhammadiyah, agama merupakan pedoman bagi manusia untuk mengatur bagaimana manusia hidup, mengatur alam, dan petunjuk agar menjadi orang yang berbahagia di dunia dan akhirat.
Kita hindari saja perdebatan dalam tafsir agama. Tetapi kita bisa lihat posisi agama dalam konteks penganutnya, dalam hal ini perilakunya. Setidaknya secara sosiologis, agama termanifestasi dalam pengungkapan secara unviversal, yaitu sebagai sistem kepercayaan (belief system), sistem ibadah (system of worship), dan sistem relasi sosial (system of social relation).
Dengan demikian, agama mengandung makna sebagai norma dan aturan (norms and rule), perilaku (behavior), proses (process), atau struktur (structure) yang berorientasi pada Tuhan. Dari definisi-definisi tersebut kita mendapatkan gambaran tentang agama terkait sistem kepercayaan atau ajaran dan praktik ibadahnya.
Dalam lingkungan global, ekspresi beragama mengalami peningkatan, di berbagai agama atau kepercayaan yang disebut “kebangkitan agama milenium ketiga”, yang menjadi salah tren dalam Megatrends 2000 yang diformulasikan oleh John Naisbitt dan Patricia Aburdene (1990).
Di mana-mana ekspresi beragama meningkat. Di Amerika Serikat, banyak orang Kristen kembali ke gereja dan bergabung dengan gerakan Abad Baru (New Age). Penganut Yahudi merekonstruksi hal-hal gaib dan memulihkan acuan tentang Mesias.
Penganut Shinto kembali ke kuil-kuil mereka. Anak-anak muda di negara komunis, Uni Soviet dan China, terpesona pada agama dan senang hadir di gereja. Kekuatan Islam yang menggetarkan muncul di Iran dan Afghanistan.
Di Indonesia ekspresi beragama juga meningkat pasca reformasi 1998. Tren berhijab dan majelis taklim kian masif, yang di masa Orde Baru sangat problematik. Di panggung politik, bermunculan partai-partai Islam yang berkontestasi dalam pemilu. Begitu juga organisasi massa Islam. Di saat bersamaan, ekspresi beragama di akar rumput, kerap kali memicu terjadinya kekerasan. Dalam banyak kasus, motif agama berkelindan dengan motif politik.
Beberapa konflik agama (etno-religius) meletup dan merusak kohesi nasional. Fenomena lain adalah aksi pembersihan terhadap ajaran menyimpang (_heresy_), penolakan terhadap pendirian rumah ibadah, hingga meningkatnya gerakan purifikasi agama, yang sampai mengafirkan sesama penganut agama sama.
Di satu sisi, menunjukkan identitas agama, tetapi di sisi lain muncul reaksi bahwa hal itu dianggap menodai citra agama sebagai pembawa kebaikan dan kedamaian. Dua perspektif yang tidak mudah dipertemukan. Maka terpisalah pola pandang itu, beragama tapi dianggap tidak beriman. Term beragama dianggap ekspresi beribadah, dalam hal ini lebih bersifat ritual, yang lebih memunculkan simbol-simbol. Sebaliknya term beriman dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bila beragama dinilai percaya bahwa Tuhan itu ada, sementara beriman melihat bahwa Tuhan itu hadir. Mereka yang beriman digambarkan bukan saja percaya Tuhan itu ada, tetapi Tuhan hadir di mana-mana. Dalam Islam dikenal rukun iman, yaitu percaya pada Allah, malaikat, kitabullah, rasul, hari kiamat, dan takdir qada dan qadar_.
Ketika merasakan Tuhan hadir di mana dan kapan pun juga, orang beriman tidak akan berperilaku atau melakukan perbuatan buruk, sebagaimana digariskan dalam agama. Dengan demikian orang beriman tidak akan begitu gampang melakukan kekerasan, merasa paling benar sekaligus menyalahkan orang lain, tidak mementingkan simbol atau atribut agama, tidak hanya fokus pada ritual tapi juga aktivitas keseharian.
Sederhananya begini, orang beriman tidak akan melakukan korupsi, karena Tuhan melihat perbuatan kita. Faktanya para koruptor adalah orang-orang yang menganut agama.
Perilaku buruk yang diperlihatkan oleh orang beragama menimbulkan efek yang berbahaya. Tidak sedikit yang merasa terganggu, sehingga mereka mengalami kepenatan sosial. Ada pandangan sinikal terhadap orang beragama. Di kalangan anak muda milenial (Gen-Y) dan generasi digital native (Gen-Z), ada di antara mereka yang stres menghadapi ekspresi “kekerasan, kurang toleran, merasa paling benar” kaum beragama. Argumentasi mereka sederhana, agama itu baik bukan ditampilkan dengan perilaku keras/jahat.
Mereka tidak sependapat dengan cara-cara orang beragama. Yang bikin saya kaget bukan main, ada fenomena di antara mereka yang mengaku atau berpikir untuk menjadi agnostik. “Saya percaya pada Tuhan, tapi tidak mau beragama,” kira-kira begitu pengakuan mereka. Sikap skeptis pada agama (akibat perilaku penganut agama) yang membuat mereka mencari pelarian sendiri.
Tentu ini problem besar. Kita tak ingin beragama dimaknai dalam konteks ritual, simbol, atribut saja, tetapi juga harus mampu merasuk ke dalam aliran darah di tubuh dan mengendap di pikiran dan hati. Jangan sampai terus dinilai beragama itu belum beriman (sedangkan beriman dianggap sudah pasti beragama). Berangkat dari konsep din, tak ada pilihan lain bagi orang beragama untuk tunduk dan menyerah pada Allah. Islam, secara bahasa, berarti "berserah diri".
Maka, sejatinya tidak ada pembedaan apalagi dipertentangkan antara beragama dan beriman. Itu artinya din bukan saat beribadah (ritual) saja, tetapi wajib diwujudkan dalam semua tingkah laku, perbuatan, keputusan hidup sehari-hari. Sebab, Allah itu Maha Melihat. CCTV yang dimiliki Allah tak berbilang luas jangakuannya.
Kita pun sudah berjanji terlalu sering, “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam,” (QS. Al-Anam: 162), yang dibaca dalam doa iftitah pada setiap salat. So, jadilah orang beragama yang beriman.
Comments ( 0 )