'Diplomasi Koboi' Kamboja di Myanmar Bikin ASEAN Cemas

'Diplomasi Koboi' Kamboja di Myanmar Bikin ASEAN Cemas

KABARINDO, PHNOM PENH – Upaya Perdana Menteri Kamboja Hun Sen membawa kepemimpinan militer Myanmar (Tatmadaw) ke dalam ASEAN baru-baru ini telah mengkhawatirkan banyak mitra regionalnya di ASEAN.

Sejak kudeta militer pada 1 Februari di Myanmar, sebagian besar negara ASEAN telah mengutuk pemerintahan baru negara itu, dan menghalangi kehadiran mereka di KTT ASEAN (Oktober 2021) dan di KTT ASEAN-China (November 2021) karena "kemajuan yang tidak memadai" dalam melaksanakan rencana perdamaian yang disepakati awal tahun ini.

Pada 28 Oktober lalu, Kamboja secara resmi mengambil alih kepemimpinan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) untuk ketiga kalinya sejak bergabung dengan grup tersebut pada 1999.

Merasa Tindakannya Benar

Sebagai langkah pertama dalam upayanya, Hun Sen bertemu dengan Menteri Luar Negeri yang ditunjuk militer, Wunna Maung Lwin, di Phnom Penh pada 7 Desember lalu.

Dia juga mengumumkan bahwa dia akan mengunjungi Myanmar pada tahun 2022 untuk bertemu dengan para pemimpin senior militer, termasuk panglima tertinggi dan pemimpin kudeta Min Aung Hlaing dalam kunjungan kenegaraan pertama oleh seorang pemimpin asing sejak kudeta.

Dalam membenarkan strategi pendekatan keterlibatan barunya, Perdana Menteri Kamboja mengatakan bahwa Myanmar adalah “anggota keluarga ASEAN” dan “jika kita tidak bekerja dengan pihak berwenang di Myanmar, dengan siapa kita harus bekerja?”

Dia juga membentak kritikus yang mempertanyakan keputusannya untuk bertemu dengan militer, mengatakan kepada mereka, “Tolong jangan ganggu saya. Beri aku kesempatan untuk menyelesaikan masalah ini.”

Menurut Charles Dunst, pengamat di program Asia Tenggara di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), diplomasi koboi Hun Sen dapat berhasil, tapi berisiko tinggi.

“Satu-satunya cara untuk mencegah [negara gagal di Myanmar] adalah dengan melibatkan junta, daripada mengisolasi mereka. [Tapi] ada potensi baginya untuk membuat keputusan yang tidak terduga, “menembak dari pinggul” yang berisiko memperburuk situasi di Myanmar,” kata Dunst.

Sejak kudeta, militer telah membunuh lebih dari 1.340 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, dengan rezim terus menindak pengunjuk rasa dan bentrok dengan gerakan perlawanan bersenjata yang berkembang.

Namun, “diplomasi koboi” (taktik diplomatik yang berisiko dan keras) ini telah menyusahkan banyak orang di ASEAN, yang mengklaim bahwa pemimpin Kamboja bertindak sendiri tanpa mendengarkan orang lain di blok regional.

Charles Santiago, ketua Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (ASEAN Parliamentarians for Human Rights – APHR) sangat prihatin dengan kurangnya transparansi seputar motif Hun Sen dan kapasitasnya dalam kegiatannya itu, terutama saat dia mempersiapkan kunjungan kenegaraan resmi.

Joanne Lin, peneliti utama dalam urusan politik-keamanan di Pusat Studi ASEAN, ISEAS-Yusof Ishak Institute, juga mempertanyakan mengapa bukan utusan khusus Kamboja saja yang dikirim.

Apakah Ada Faktor Eksternal?

Hun Sen mengatakan bahwa dia telah membahas niatnya mengunjungi Myanmar dengan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida dan Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Ini menyiratkan bahwa kunjungan kenegaraan tersebut dapat menjadi bagian dari upaya multilateral yang lebih besar.

Tetapi para ahli meragukan bahwa kedua negara, terutama Indonesia, yang sangat vokal menentang militer, memiliki pengaruh apa pun atas pengambilan keputusan Hun Sen atau militer Myanmar secara umum.

Dunst juga menyampaikan keraguan akan kesediaan Tatmadaw maju ke meja perundingan kecuali bila China dan Rusia yang mengundang karena dua negara inilah yang selama ini mendukung Junta Militer Myanmar.

Saat utusan khusus China Sun Guoxiang melakukan perjalanan ke Singapura dan Brunei untuk melobi dilibatkannya Tatmadaw pada KTT China-ASEAN pada bulan November, Hun Sen mengisyaratkan kemungkinan persekutuan lama Kamboja dan China bisa berkolusi sekali lagi.

Terlepas dari apakah China sedang melenturkan otot diplomatiknya untuk menekan Kamboja, satu hal yang pasti, menurut Lin, adalah bahwa krisis di Myanmar akan tetap menjadi perhatian semua orang. ***(Sumber: Aljazeera, CSIS; Foto: AP, Antara News)