Hukum sebagai Senjata Politik, Guru Besar UI: Situasi Hukum di Indonesia Saat Ini dalam Kondisi Pembusukan di Berbagai Bidang

Hukum sebagai Senjata Politik, Guru Besar UI: Situasi Hukum di Indonesia Saat Ini dalam Kondisi Pembusukan di Berbagai Bidang

KABARINDO, JAKARTA - Hukum di Indonesia saat ini sungguh miris dan berada di titik nadir. Belakangan ini disaksikan bersama-bersama kecenderungan penegak hukum termasuk pembuatan atau revisi peraturan dan perundang-undangan dilakukan oleh dan untuk kepentingan politik, bukan untuk supremasi hukum itu sendiri.

Melihat kegelisahan yang terjadi saat ini, Nurcholish Madjid Society (NCMS) menggelar diskusi publik bertajuk "Hukum sebagai Senjata Politik" di Gedung STR Ampera Raya, Rabu (19/6/2024).

Diusungnya tema ini di mana selera kepentingan politik membuat penegakkan hukum  akhirnya dilksanakan dengan cara tebang pilih kasus dan sangat selektif, termasuk dipaksakan untuk mengancam pihak-pihak yang kritis. Hukum pun menjadi dagangan senjata politik. Spirit Republik yang mengamanahkan penegakkan secara berkeadilan telah dikhianati.

Situasi ini tentu membuat bangsa Indonesia sangat khawatir, terutama soalnya  lahirnya kepemimpinan yang otoriter, di mana prasyarat utamanya telah terpenuhi yaitu menggunakan hukum untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok dan golongannya.

Lebih parahnya lagi, sebagaimana ditegaskan Sukidi, Pemikir Kebhinekaan, harian Kompas (13/6), jika aturan atau hukum yang tersedia tidak sesuai dengan kepentingan pribadi, aturan atau hukum itu diubah dengan cara yang secara teknis legal, tetapi sebenarnya bentuk tindakan eksploitasi konstitusional secara serampangan dan kasar.

Sukidi juga menyebut penegakan hukum dilakukan secara selektif saat menyikapi proses permintaan klarifikasi terhadap Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurutnya, proses hukum terhadap Hasto mengingatkan aktivis Muhammadiyah itu terhadap tulisan dua profesor dari Universitas Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.

Sukidi menjawab demikian saat menjawab awak media setelah menjadi pembicara diskusi Hukum Sebagai Senjata Politik di Aula Grha, Jakarta Selatan, Rabu (19/6/2024). Selain Sukidi, pembicara lainnya dalam diskusi adalah Franz Magniz Suseno, Prof.Dr.Sulistyowati Irianto, dan Oni Komariah Madjid.
 
"Secara umum saya melihat bahwa penegakan hukum dilakukan secara selektif itu sendiri. Apa yang oleh dua profesor Harvard, profesor Levitsky dan Daniel Ziblatt disebut sebagai selective enforcement. Jadi, penegakan hukum secara selektif menarget kepada mereka yang menjadi rival politik, bahkan musuh politik untuk ditegakkan hukum, tetapi kepada sahabat, kepada temen, they are everything, mereka segalanya, karena itu hukum tidak ditegakkan," kata Sukidi, Rabu.

Dia mengingatkan penegakan hukum yang selektif menjadi cikal bakal demokrasi Indonesia menuju jurang kehancuran.

Sukidi pun mengingatkan para pemimpin bangsa bisa menerapkan hukum yang adil bagi semua demi mencegah kehancuran demokrasi.

"Jadi, proses penegakan hukum yang selektif ini yang menjadi akar kerusakan demokrasi kita, karena itu kami mengimbau kepada pemimpin utk menegakkan hukum seadil-adilnya, agar apa? Agar tidak terjadi ketidakadilan, tidak terjadi diskriminasi yang menimpa warga negara sendiri," ungkap peraih doktoral University Harvard itu.

Sementara itu, Sukidi dalam diskusi menyinggung soal kerusakan dan pembunuhan demokrasi bermula dari hukum yang dipakai untuk senjata politik seperti diungkapkan Steven Lewitsky dan Daniel Ziblatt.

"Ini menjadi salah satu faktor penting mengapa demokrasi kita mengalami kerusakan yang sedemikian parah. Kenapa? Karena salah satu penjelasannya adalah hukum itu dipakai sebagai senjata politik. Pertama, hukum itu dipakai sebagai senjata politik terutama untuk menekan para pesaing politik," ujar dia.

Sukidi menjelaskan soal hukum yang dipakai untuk senjata ialah para pesaing politik dari rezim terpimpin ditekan menggunakan hukum, sedangkan mereka yang membersamai kekuasaan memperoleh proteksi.

"Lewitsky dan Ziblatt sadar betul bahwa the law enforcement itu memang penting, tetapi ketika penegakan hukum dilakukan secara selektif, apa yang oleh Daniel Ziblatt dan Steven Lewitsky disebut sebagai selective enforcement. Maka yang terjadi adalah para pesaing, para musuh, dan mereka yang kritis terhadap kekuasaan akhirnya menjadi target," urai Sukidi.

Ia mengungkapkan kembali bahwa sekarang yang sebenarnya dirasakan itu adalah pertanyaan apakah anda menjadi target atau tidak. Kalau soal kesalahan, kekeliruan bisa dicari, tetapi selective enforcement itu mendefinisikan penegakan hukum dalam kategori bahwa karena anda rival, karena anda musuh dari kekuasaan, maka anda akan kami tegakkan aspek hukumnya.

"Saya sangat prihatin, situasi hukum di Indonesia saat ini dengan kondisi pembusukan terjadi di berbagai bidang. Parahnya lagi, pembusukan itu justru dilakukan oleh lembaga-lembaga tinggi negara seperti Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama mengeluarkan putusan bermuatan nepotisme, mengatasnakam kaum muda. Sementara parlemen sedang merusmuskan berbagai revisi peraturan perundangan yang berpotensi melemahkan demokrasi dan membatasi hak azasi manusia," Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, menegaskan.

Hal senada pun diungkapkan Franz Magnis Suseno, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, menyebut moralitas, etika dan integritas merupakan syarat utama bagi seorang pemimpin di Indonesia. 

"Tetapi etika di negeri ini hari-hari ini menjadi tantangan ketika banyak elit politik dan pemimpin negeri mempertontonkan perilaku yang minus etika," jelasnya.

Bagi Romo Magnis, gagasan tentang etika dan cara hidup bernegara yang benar harus terus digaungkan ke publik agar masyarakat, terutama para elit politik, memiliki panduan moral yang etis dalam berprilaku dan pemimpin negeri.

NCMS menilai topik yang diangkat kali ini sangat penting untuk didiskusikan di tengah perilaku para elit negeri yang cenderung menggunakan hukum untuk kepentingan politik sendiri, melakukan pembusukan hukum untuk kepentingan elektoral, dan mengesampikna etika demi keperkuan politik pribadi.

NCMS berharap pemikiran dan suara jernih para akademisi menjadi inspirasi publik sekaligus mampu menggugah kesadaran masyarakat agar tetap menyuarakan suara kritis seraya menggaungkan kebenaran. Dan di saa bersamaan, para elit mampu siuman agar kembali bekerja untuk kepentingan masyarakat luas, bukan untuk diri dan golongannya semata. Terkhusus bagi aparat penegak hukum agar memiliki integritas dan mampu menegakkan hukum secara benar berkeadilan demi supremasi hukum itu sendiri. Foto: Orie Buchori/Kabarindo.com