Jessica Wongso

Jessica Wongso

Oleh: James Luhulima

KABARINDO, JAKARTA - Film dokumenter ”Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso” pertama kali tayang di Netflix pada tanggal 28 September 2023. Putri saya, Sasha Luhulima, yang kebetulan tengah berada di Jakarta menontonnya, dan ia mengatakan, saya harus menonton film dokumenter yang masa putarnya 1 jam dan 26 menit itu. 

Saya langsung menolak untuk menontonnya karena merasa bahwa Jessica Wongso telah diperlakukan secara tidak adil di persidangan. Saya berpikir, menontonnya akan membuat saya semakin frustrasi.

Ingatan saya, terbawa mundur kembali ke akhir bulan Januari 2016, di mana kasus itu pertama kali muncul. Sebagai Deputi Pemimpin Redaksi Harian Kompas, waktu itu, saya mengikuti perjalanan kasus itu dengan saksama. Sebetulnya tugas saya pada saat itu adalah membantu mengawasi pemberitaan halaman I Harian Kompas sebelum dikirim ke percetakan, tetapi saya juga mengikuti berita-berita di halaman lain yang dianggap menarik.

Pada akhir Januari 2016 itu, saya tertarik untuk mengikuti berita Jessica Wongso yang dituduh meracuni sahabatnya, Mirna Salihin, dengan sianida. Saya mengikuti pemberitaan itu secara kontinyu. Namun, semakin lama mengikuti persidangannya, saya semakin frustrasi karena kasus itu banyak bolong-bolongnya. ”Jessica dituduh meracuni Mirna, tetapi dalam pemeriksaan awal di organ dalam tubuh Mirna tidak ditemukan sianida.” Mirna (dalam keadaan masih hidup) sempat dibawa ke Rumah Sakit Abdi Waluyo, dan dimasukkan ke ICU, dan di lambungnya tidak ditemukan sianida.
 
Saya sangat gemar mengikuti film CSI (Crime Scene Investigation) di saluran TV berbayar, Indovision, dan dalam film-film CSI itu diperlihatkan betapa pentingnya alat bukti untuk menentukan seseorang itu bersalah atau tidak. Asumsi, atau persepsi, itu sama sekali tidak dapat digunakan untuk menetapkan seseorang itu bersalah atau tidak. 

Saat mengikuti jalannya persidangan Jessica Wongso, saya sempat menyebutkan kepada rekan-rekan di kantor bahwa jika kasus Jessica Wongso disidangkan di Amerika Serikat, pasti ia akan dibebaskan karena apa yang dituduhkan kepadanya tidak terbukti. Namun, di sini (di Indonesia), sidang tetap dilanjutkan, dan entah bagaimana, ”tiba-tiba” di organ dalam Mirna ditemukan sianida. Berdasarkan aturan yang ada seharusnya Mirna diotopsi, tetapi ayahnya keberatan.

Dan, Jessica Wongso dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada tanggal 27 Oktober 2016. Ia mengajukan banding, dan ditolak 7 Maret 2017. Permohonan Kasasi pun ditolak 21 Juni 2017, demikian juga PK (Peninjauan Kembali) ke Mahkamah Agung ditolak 3 Desember 2018. Jessica Wongso pun ditawari untuk mengajukan grasi, dengan catatan ia harus mengaku bersalah. Namun, Jessica Wongso menolak karena merasa ia sama sekali tidak bersalah.

Putri saya yang mengambil S2 Jurusan Kriminologi di Melbourne, Australia, itu menegaskan bahwa saya harus menonton ”Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso” karena film dokumenter itu mengulas berbagai pertanyaan tak terjawab seputar persidangan Jessica Wongso. Dan, menurut dia, apa yang digugat dalam film itu sangat menarik untuk diikuti.
 
Dan, saya pun menontonnya. Saya mendapati bahwa apa yang saya rasakan itu juga dirasakan oleh pembuat film dokumenter itu. Menarik untuk diikuti apa yang akan dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait ke depannya, termasuk yang mendapat manfaat dari ”diselesaikannya” kasus itu. Memang Jessica Wongso telah menjalani hukumannya selama tujuh tahun, tetapi itu tidak berarti ia harus menjalani sisa hukumannya 13 tahun lagi. Dari segi hukum tidak ada lagi yang dapat diperbuat, satu-satu jalan adalah mengajukan bukti baru atau novum sebagai syarat pengajuan PK.