Judi Online, Bencana Sosial di Era Digital

Judi Online, Bencana Sosial di Era Digital
Judi Online, Bencana Sosial di Era Digital
Judi Online, Bencana Sosial di Era Digital

Foto : Dok.Pribadi

 

Penulis :

Ira Vidya R. Siahaan (Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Padjadjaran)

Miris!! Peristiwa istri membakar suaminya hingga tewas karena motif judi online, tak sekali saja terjadi.

29 Oktober 2024, seorang wanita di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) berinisial HH (35) nekat membakar suaminya dan rumah milik mertua. Tak hanya rumah mertua, dua unit rumah tetangga pun ludes terbakar. Aksi nekat HH ini diduga gara-gara kesal dengan suaminya, Mario Agustinus Wendo yang doyan bermain judi online.

Sebelumnya, pada 8 Juni 2024, seorang polwan bakar suami yang juga seorang polisi terjadi di di Kompleks Asrama Polisi Polres Mojokerto, Jawa Timur. Peristiwa tersebut menimpa Briptu RDW (28), polisi yang bertugas di Polres Jombang, sementara pelaku adalah Briptu FN (28), seorang polisi wanita (polwan) yang bertugas di Polres Mojokerto Kota. FN tega membakar suaminya setelah mengetahui rekening bank milik suami yang berisi gaji ke-13 senilai Rp 2.800.000 berkurang menjadi Rp 800.000 karena dipakai judi online. Kemudian FN marah dan tega membakar suaminya sendiri hingga menemui ajal karena luka bakar serius. FN menyatakan sejak menikah pada Februari 2021, masalah judi online jadi pemicu utama konflik di antara mereka.

Fenomena judi online yang merembet ke anak-anak di bawah umur juga sudah berada di fase mengkhawatirkan. Pada bulan Juli 2024 lalu, PPATK menyebutkan berdasarkan data demografi, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan total 80.000 orang. Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (PPAPP) DKI Jakarta mencatat, jumlah anak yang terpapar judi online meningkat hingga 300 persen dalam kurun waktu tahun 2017 sampai 2023.

Dampak dari melakukan judi daring pun tak hanya akan dirasakan oleh pelaku yang terganggu kehidupan sehari-harinya, tetapi juga orang-orang terdekatnya, mereka akan terjebak dalam lingkaran ketakutan dan kehilangan kepercayaan. Ditambah lagi muncul masalah keuangan, hingga merusak hubungan sosial.

Fenomena judi online pun bak racun mematikan. Hanya dengan genggaman tangan, bermodal ponsel dan koneksi internet, siapa saja dapat terjebak di dalam judi online yang menjanjikan kekayaan dan kemewahan secara instan. Judi online memiliki potensi menyebabkan kecanduan yang mirip narkoba. Aktivitas berjudi mengaktifkan sistem reward di otak yang memproduksi zat kimia bernama dopamine. Dopamin adalah neurotransmiter atau pembawa pesan yang menciptakan rasa senang dan euforia. Ketika orang berjudi dan menang, lonjakan dopamin memberikan kepuasan yang luar biasa dan mendorong pelaku untuk terus berjudi demi mengejar sensasi tersebut.

Judi online di Indonesia telah diidentifikasi sebagai bencana sosial yang serius, dengan dampak yang merusak pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, sekitar 8,8 juta orang terlibat dalam judi online, dengan 80% dari mereka berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Kecanduan judi juga sering menjerumuskan orang ke dalam lingkaran setan yang sulit dihentikan, hingga terjebak dalam jeratan hutang. Ditambah keberadaan iklan judi online di berbagai media sosial semakin memperparah situasi. Iklan-iklan ini dirancang dengan algoritma yang secara otomatis menargetkan orang yang pernah mengakses situs judi sebelumnya.

Kapan sebenarnya judi online mulai marak di Indonesia? Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Polisi Krishna Murti pernah menyatakan Pandemi Covid-19 yang terjadi di Indonesia ternyata jadi awal mula maraknya judi online yang menyebar hingga ke Asia Tenggara dan China. "Sejak pandemi, perjudian itu limited of movemend yang biasanya di wilayah Mekong [antara Laos dan Myanmar] itu ada SEZ [special economic zone] yang telah mengizinkan operator judi membuka one stop entertaiment dengan fasilitas dari pemerintahan," tuturnya.

Berdasarkan data PPATK, nilai transaksi judi online dalam kurun tiga tahun terakhir melonjak tajam dari tahun ke tahun. Pada 2021, perputaran duit judi online mencapai Rp 57 triliun. Jumlahnya naik jadi Rp 81 triliun pada 2022. Pelonjakan tajam terjadi di tahun berikutnya menjadi Rp 327 triliun pada 2023. Sementara di tahun 2024, PPATK mencatat transaksi judi online per Januari-Maret sudah menyentuh Rp 600 triliun. Jumlah tersangka judi online yang ditangkap setiap tahunnya pun mencapai ribuan orang. Angka- angka yang fantastis, dimana seluruh lapisan masyarakat terbuai mendepositkan uangnya dari puluhan ribu hingga miliaran rupiah untuk judi online.

Teori Ketergantungan Media

Teori ini menjelaskan bahwa individu dan masyarakat sangat bergantung pada media untuk memenuhi kebutuhan informasi, hiburan, dan sosialisasi. Dalam konteks judi online, media sosial dan iklan digital memainkan peran penting dalam menarik minat individu untuk terlibat dalam perjudian. Iklan yang menarik dan rekomendasi dari teman-teman di platform media sosial seringkali menjadi faktor pendorong bagi individu untuk mencoba judi online. Paparan berulang terhadap konten judi melalui media dapat membentuk persepsi bahwa judi adalah aktivitas yang normal dan diterima, membuat individu lebih cenderung untuk terlibat.

Pengguna judi online kerap bergantung pada platform dan media untuk mendapatkan informasi tentang permainan, strategi, dan tren. Media juga menyediakan hiburan yang dapat mengisi waktu dan memberikan kesempatan untuk bersosialisasi. Judi online sering melibatkan interaksi dengan pemain lain melalui forum atau media sosial, menciptakan komunitas yang saling mendukung dan berbagi pengalaman.

Ketergantungan pada media judi online dapat menyebabkan kecanduan, di mana individu merasa perlu untuk terus terhubung dan berpartisipasi dalam aktivitas judi. Rasa keterhubungan dengan komunitas online dapat memperkuat perilaku ini. Ketergantungan pada media judi dapat memengaruhi kondisi emosional pemain. Kemenangan dapat memberikan dorongan positif, sementara kekalahan dapat menimbulkan stres dan depresi, yang selanjutnya memicu lebih banyak perilaku berjudi untuk mendapatkan kembali kerugian.

Dengan kemudahan akses ke platform judi online melalui perangkat mobile dan internet, ketergantungan dapat meningkat. Kebutuhan untuk hiburan, pelarian dari masalah, atau mencari pengakuan sosial juga dapat meningkatkan ketergantungan pada media judi.

Ketergantungan pada judi online dapat mempengaruhi hubungan antarpribadi, menyebabkan konflik dalam keluarga atau hubungan sosial. Ketergantungan yang tinggi bahkan mengarah pada masalah kesehatan mental dan emosional, hingga memerlukan perhatian lebih dari masyarakat dan profesional. Ditambah lagi meningkatkan aksi kriminalitas, seperti nekat mencuri, membunuh hingga bunuh diri.

Literasi digital saat ini menjadi hal penting. Peran dari seluruh elemen masyarakat, dimulai dari keluarga, diharapkan tidak kalah dan mampu melek terhadap perkembangan teknologi digital. Beriringan dengan Kementerian komunikasi dan digital (Komdigi), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Kepolisian yang tergabung dalam satgas pemberantasan judi online , masyarakat baik di lingkungan setempat hingga lingkungan sekolah pun harus aktif memberikan edukasi bahaya judi online.

Bersama kita perangi judi online, agar tak jadi bencana sosial di era digital.