Wabah PMK Hewan Ternak di Jabar Terkendali

Wabah PMK Hewan Ternak di Jabar Terkendali

KABARINDO, BANDUNG - Wabah Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) di Provinsi Jawa Barat meluas dan ribuan hewan ternak dinyatakan positif terpapar penyakit tersebut.

Mengacu pada data Dinas Ketahanan Pangan dan Peternakan (DKPP) Jabar hingga 26 Mei 2022, sedikitnya 2.816 hewan ternak berkuku belah (sapi potong, sapi perah, domba, dan kambing) sudah terjangkit PMK.

Kepala DKPP Jabar Moh Arifin Soedjayana mengatakan, secara populasi jumlah hewan ternak yang terjangkit PMK di Jabar sebenarnya tidak signifikan.

Namun, kata dia, dari jumlah di kabupaten/kota yang terjangkit PMK terus bertambah.

"Ditemukan pertama kali di Garut pada 7 Mei lalu, kemudian merembet ke Tasikmalaya dan Banjar. Kini (wabah PMK) meluas di 20 kabupaten/kota yang terdiri dari 97 kecamatan dari 627 kecamatan atau 15,47 persen dengan total 125 desa kelurahan atau 2,09% dari 5.957 desa kelurahan di Jabar," papar Arifin dalam keterangannya, Sabtu (28/5/2022).

Arifin melanjutkan, ribuan hewan ternak yang terpapar PMK tersebut langsung ditangani, di antaranya dipotong paksa atau diobati.

Arifin juga mengakui, tidak sedikit di antara hewan ternak yang terpapar PMK akhirnya mati.

"Tingkat kesembuhannya 6,85 persen ada 193 ekor yang mati 33 ekor atau 2,45 persen," ungkap Arifin.

Meski begitu, Arifin memastikan, penyebaran PMK hewan ternak di Jabar masih terkendali.

Terpenting, tambah Arifin, pihaknya hadir untuk melakukan pendampingan di setiap kabupaten/kota di Jabar yang mengalami wabah PMK.

Sementara itu, Divisi PKP Pertanian dan Ketahanan Pangan Komite Pemulihan Ekonomi Daerah (KPED) Jabar Rochadi Tawaf menjelaskan kalau kematian hewan ternak akibat PMK memang terbilang rendah.

Tapi kondisi tersebut berpengaruh terhadap produktivitas sapi, terutama sapi perah.

Apalagi, Jabar merupakan salah satu produsen susu sapi.

"Kalau pun sembuh, produksi susunya berkurang jadi 25 persen," katanya.

Menurutnya, langkah cepat untuk memotong rantai penularan, yakni dengan stepping out atau potong paksa.

Adapun penanganan jangka panjang dibutuhkan waktu sedikitnya satu tahun, namun hal itu membutuhkan biaya yang cukup besar

"Jadi, harus ada dana tanggap darurat untuk mengganti sapi yang dipotong paksa. Laporan dari daerah, karena tidak ada penggantian, maka mobilisasi ternak susah dijaga. Meski ada cek poin, tapi ada jalan tikus, sehingga pencegahan penularan sulit dilakukan. Kami harap pemerintah menyiapkan dana tanggap darurat untuk ganti stepping out, mumpung jumlah sapi yang tertular masih sedikit," jelasnya.