Prof Harris Arthur: Waspada Hoaks dan Deepfake di Medsos, Kerusuhan Agustus Jadi Pelajaran!
KABARINDO, JAKARTA - Banyak konten hoaks yang.beredar di lini masa media sosial dan menjadi viral, seperti miscaption, deepfake, ajakan palsu atau narasi jahat yang dibangun dengan sesat pikir (logical fallacy). Inilah pelajaran yang harus dipetik dari kerusuhan akhir Agustus lalu
Demikian yang diungkapkan Prof. Dr. Harris Arthur Hedar , S.H , M.H , CREL, Ketua Dewan Pembina Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) dalam pernyataan resminya, Selasa (9/9/2025).
Dari hasil survei Digital News Report 2025, sebanyak 57% responden di Indonesia mengaku mendapatkan berita atau informasi melalui media sosial, bukan dari media online arus utama.
Hal ini menjadikan lini masa media sosial bukan lagi sekadar ruang obrolan, melainkan instrumen pembentuk opini publik.
Kerusuhan yang terjadi pada akhir Agustus lalu menjadi bukti nyata betapa media sosial kini berperan besar dalam membentuk opini publik. Bukan hanya menjadi ruang percakapan, lini masa media sosial justru memicu eskalasi keresahan karena dipenuhi hoaks, miscaption, deepfake, hingga ajakan palsu yang dibangun dengan narasi sesat pikir.
Data menunjukkan pengguna internet di Indonesia mencapai lebih dari 229 juta orang. Platform yang paling sering diakses adalah WhatsApp, Facebook, TikTok, Instagram, YouTube, dan X.
Perilaku penggunaan internet tercatat: 24,8% untuk mengakses media sosial, 15% untuk membaca berita media online, 15% untuk transaksi keuangan, dan sisanya untuk berbagai kebutuhan lain.
Ancaman Serius di Dunia Digital
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat 1.923 hoaks terdeteksi sepanjang 2024, mayoritas bertema politik dan keamanan. Artinya, Harris mengatakan, ada produksi konten hoaks yang sengaja dilakukan oleh kelompok tertentu untuk menciptakan keresahan publik.
Menurut Harris, ada empat konten utama yang menjadi ancaman serius, di antaranya:
1. Miscaption, yakni foto atau video lama diberi keterangan baru. Contoh: Video 1998 yang diberi narasi seolah peristiwa Agustus kemarin.
2. Deepfake, berupa rekayasa audio/visual menggunakan AI. Misalnya rekaman suara sintetis Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut "guru beban negara", padahal hasil rekayasa.
3. Ajakan aksi palsu, broadcast yang mengarahkan massa ke lokasi dan waktu yang salah, sehingga memicu kerawanan spontan.
4. Narasi sesat pikir (logical fallacy), yang dikemas dalam meme atau flyer. Misalnya serangan Ad Hominem, Straw Man Fallacy, Bandwagon Fallacy, False Dichotomy, hingga Appeal to Authority.
"Keempat konten di atas; miscaption, deepfake, ajakan palsu dan narasi sesat pikir, apabila diterima secara bersamaan atau dalam rentang yang tidak terlalu jauh waktunya, maka akan saling menguatkan," jelas Harris.
Tugas Pemerintah
Harris menekankan bahwa masyarakat tidak semuanya mampu memverifikasi konten digital. Apalagi mayoritas pengguna internet di Indonesia berasal dari latar pendidikan beragam. Karena itu, negara harus hadir.
"Negara harus membentuk command room satu atap yang bertugas melakukan analitik disinformasi, dan merespon dengan cepat dalam hitungan menit untuk menyampaikan bahwa konten tersebut hoaks, deepfake atau ajakan palsu," tegasnya.
Menurutnya, kecepatan klarifikasi menjadi kunci. Rata-rata warganet Indonesia menghabiskan 3 jam 6 menit per hari di media sosial, sehingga hoaks bisa cepat menyebar luas.
"Dalam konteks kerusuhan 2025, kita bisa mengambil pelajaran, secepat apa pemerintah melakukan debunking alias tindakan membongkar dan menunjukkan bahwa suatu informasi itu hoaks, deepfake dan sejenisnya, dengan menyajikan bukti-bukti yang terverifikasi. Sehingga hoaks yang menjadi viral tersebut akan teredam dengan sendirinya," tutup Harris.
Comments ( 0 )