Getol Beribadah, Tapi Doyan Korupsi

Getol Beribadah, Tapi  Doyan Korupsi

Oleh: M. Subhan SD
Co-Founder Palmerah Syndicate

      Dalam sebuah obrolan ngalor-ngidul, ada pertanyaan yang bikin terhenyak: mengapa di ruang sidang banyak terdakwa korupsi berpenampilan necis mengenakan baju koko, kopiah, atau kupluk haji? Ini pertanyaan menohok, tapi sekaligus introspektif. Iya, kira-kira apa maksud dari fenomena di ruang sidang itu? Mengapa muncul simbol-simbol agama? Apakah ingin dikesankan bahwa terdakwa sangat religius? Atau, maksudnya si terdakwa ingin bertobat? Sejenak kami terdiam. 

    Korupsi bertentangan dengan ajaran agama. Berasal dari bahasa Latin, corruptio atau corruptus, dengan arti beragam: busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, dapat merusak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Korupsi sama saja dengan mencuri, maling, garong, menggelapkan, dan sejenisnya.


    Allah berfirman: “Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui (QS. Al-Baqarah: 188).


     Kita buka lagi lembaran sejarah pada masa Nabi Muhammad. Sekitar tahun 9 Hijriyah (631), nabi mengangkat seorang pejabat untuk mengurus zakat Bani Sulaim, sebuah kabilah yang kampungnya terletak di jalur perdagangan Madinah menuju Syam. Nama pejabat itu Abdullah bin Al-Lutbiyyah. Seusai menjalankan tugas, Abdullah menghadap nabi, menyerahkan zakat yang dikumpulkan. “Wahai Rasulullah ini untukmu dan yang ini hadiah yang diberikan orang kepadaku,” kata Abdullah kepada Rasulullah. Hadiah adalah bentuk gratifikasi. 


    Nabi langsung menegur Abdullah, “Mengapakah engkau tidak duduk saja di rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak.” Kemudian, seusai salat, nabi menjelaskan kasus gratifikasi seorang pejabat (amil) itu kepada umat. “Demi Allah yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu untuk diambil hasilnya melainkan ia akan menghadap di hari kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa unta akan bersuara menggerutu, jika berupa lembu akan melenguh dan jika berupa kambing akan mengembik. Sungguh aku telah menyampaikan,” sabda nabi.


     Dalam Islam sudah jelas gratifikasi dan segala bentuk korupsi adalah haram. Istilah korupsi bermacam-macam, antara lain  _risywah_ (penyuapan), _ghulul_ (penggelapan, penyalahgunaan amanat), _aklu suht_ (pemanfaatan jabatan). Jika agama sudah jelas menetapkan hukumnya, mengapa korupsi masih marak. Sungguh aneh! Kita asumsikan mereka getol beribadah tapi tetap doyan korupsi. Tak keliru jika dikatakan korupsi orang-orang beragama itu adalah penistaan sesungguhnya terhadap agama.  


    Di Indonesia sejak reformasi, korupsi bukannya hilang, justru terus subur bak cendawan di musim hujan. Bayangkan saja, semua institusi kekuasaan negara yaitu eksekutif, legislatif, yudikatif, tak ada yang steril dari kasus korupsi. Sampai-sampai ada istilah trias corruptico, sindirian yang diplesetkan dari trias politica konsep politik tentang pemisahan kekuasaan ketiga institusi itu – yang digagas John Locke (1632-1704) dan dikembangkan Montesquieu (1689-1755). 

    Sejak era reformasi daftar korupsi marak di kalangan kepala daerah, polisi, hakim, jaksa, birokrat, pegawai pemerintah, tentara, menteri, anggota dewan, politikus, pengusaha, dan banyak lagi. Korupsi sudah bermutasi menjadi lingkaran setan. Pemberantasan korupsi bergerak sentrifugal dari agenda reformasi. Padahal, pemberantasan korupsi adalah agenda reformasi 1998. 


     Semakin memprihatinkan karena korupsi pun terjadi di kalangan mereka yang mengurus soal-soal agama. Tercatat dua menteri agama terjerat kasus korupsi dana abadi umat atau  dana haji. Lalu proyek-proyek seperti pengadaan laboratorium komputer untuk madrasah tsanawiyah (2011) dan penggandaan Al-Quran (2011-2012) juga dikorupsi, kongkalikong dengan pejabat dan politikus. Bagaimana menjelaskan fenomena korupsi seperti ini? Nalar apalagi yang bisa menerima dan memahami tindakan korupsi di atas kegiatan keagamaan. Pikiran sudah jungkir balik. “Kaki di kepala kepala di kaki,” seperti lirik lagu Peterpan, Di Atas Normal (2004).


    Belakangan muncul kritik satire adanya Klasemen Liga Korupsi Indonesia. Urutan pertama dipegang Pertamina dengan angka korupsi Rp 968,5 triliun, selanjutnya PT Timah (Rp 300 triliun), BLBI (Rp 138 triliun), dan seterusnya. Tentu saja, itu adalah bentuk sindiran keras di media sosial, melukiskan kelelahan publik memberantas korupsi. Bahkan KPK yang didirikan tahun 2002, sangat kewalahan mencegah dan memberantas korupsi. 


     Dengan fenomena korupsi di mana-mana, saya terkejut dengan kenyataan, mengapa di negara-negara yang penduduknya terkesan religius, korupsinya tinggi; sebaliknya di negara-negara yang penduduknya dianggap kurang religius atau mungkin mengaku ateis justru nyaris tiada korupsi. Kita bandingkan negara yang penduduknya masih menganggap penting beragama dengan Indeks Persepsi Korupsi 2024, terbitan Transparency International. Dengan skala 0-100 (makin besar skor makin bersih, makin kecil skor makin korup), beberapa contoh: Indonesia berada di posisi 101 dari 180 negara (skor 37), Malawi di 109 (34); Niger di 111 (34), Filipina di 119 (33), Bangladesh di 151 (33),  Sri Lanka di 124 (32), Yaman di 176 (13). Sebaliknya negara-negara yang dianggap kurang religius walau beragama, indeksnya malah baik. Contoh Denmark berada di posisi pertama dengan skor 90 dan Finlandia di urutan ke-2 (skor 88). 


    Lantas, apakah agama dipersalahkan? Agama sudah jelas-jelas melarang korupsi. Lagi pula, perkara korupsi juga menyangkut sistem penindakan untuk efek jera. Nabi ketika dilobi Usamah bin Zaid untuk meringankan hukuman seorang putri pembesar suku Makhzum yang mencuri, mengatakan, “Wahai manusia, sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah jika ada orang yang mulia (memiliki kedudukan) di antara mereka yang mencuri, maka mereka biarkan (tidak dihukum). Namun jika yang mencuri adalah orang yang lemah (rakyat biasa), maka mereka menegakkan hukum atas orang tersebut. Demi Allah, sungguh jika Fatimah binti Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya” (HR. Bukhari dan Muslim).


     Indonesia, walaupun mayoritas Muslim, tetapi bukan negara Islam. Sayangnya, dalam penindakan korupsi juga tak seberani China yang jauh lebih tegas. Klausul pemiskinan koruptor cuma wacana. RUU Perampasan Aset saja mengendap belasan tahun di DPR, tak kunjung dibahas, apalagi disahkan. Apakah RUU itu ditakutkan menjadi bumerang, membidik para perancangnya? Jangan-jangan pengelola negeri ini tak serius memberantas korupsi?