Ilmu Kebal Itu Pakai Akal-Mengenang Komjen Pol (Purn) Yusuf Manggabarani

Ilmu Kebal Itu Pakai Akal-Mengenang Komjen Pol (Purn) Yusuf Manggabarani
Ilmu Kebal Itu Pakai Akal-Mengenang Komjen Pol (Purn) Yusuf Manggabarani

Komjen (Purn) Yusuf Manggabarani. (FOTO/Istimewa).

 

 

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi

 

Kami sedang duduk bersama suatu hari, di hadapan kami sebuah siaran langsung terpampang di layar kaca—sebuah drama penangkapan yang membuat banyak orang terdiam, tegang, dan bahkan takut. Tapi tidak dengan beliau. Puang Oca, begitu kami memanggilnya sebagai penghormatan dan kedekatan—Komjen Pol (Purn) Yusuf Manggabarani—menyaksikannya dalam hening yang penuh makna. Lalu ia berkata:

"Orang benar dan kuat tidak akan pernah takut, apalagi hanya sekadar ditangkap. Benar itu bersandar kepada Yang Maha Benar dan Maha Kuat, kenapa takut."

 

Ucapan itu bukan hanya refleksi pengalaman, tetapi juga cerminan keyakinan yang telah menjadi daging dan darah dalam hidupnya. Ia adalah perwira tinggi yang jarang ada. Yang berani karena bersih, yang tegas karena tahu arah, dan yang tak gentar karena bersandar pada kebenaran.

Saya pernah iseng bertanya kepadanya,

“Puang, apa betul cerita orang kalau Puang punya ilmu kebal?”

Beliau tertawa, tergelitik dan merasa lucu:

“Betul,” jawabnya.

“Tapi ilmu kebal itu pakai akal. Bukan pakai jimat.”

Saya terdiam sejenak, lalu bertanya lagi,

“Maksudnya, Puang?”

Beliau menjawab dengan senyuman tenang,

“Kan ada rompi pengaman.”

Saya menggodanya,

“Tapi cerita orang bilang waktu itu Puang ditembak dan tidak pakai rompi.”

Ia kembali tertawa, lebih dalam kali ini.

“Saya tahu jarak tembaknya. Senjata yang mereka pakai tidak mematikan dari jarak itu. Itu maksud saya: pakai akal.”

Yusuf Manggabarani adalah sosok langka: setegas baja, seteduh telaga. Dalam diamnya, ada prinsip. Dalam tawanya, ada kebijaksanaan. Dalam keberaniannya, tidak ada kesombongan. Beliau bukan sekadar jenderal berbintang tiga; beliau adalah penjaga nilai.

Lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, menempuh pendidikan di AKABRI 1975, beliau menjabat berbagai posisi penting: Kapolda Aceh, Kapolda Sulsel, Kadiv Propam, Irwasum Polri, hingga Wakapolri. Tapi yang melekat di hati kami bukan pangkatnya, melainkan kejujurannya yang tak bisa dibeli. Ia berani mengatakan tidak saat banyak memilih diam. Ia tidak menjilat, tidak bermain dua muka. Ia punya satu wajah: wajah kebenaran.

Ketika beliau wafat pada 20 Mei 2025, di Hari Kebangkitan Nasional, bangsa ini bukan hanya kehilangan seorang jenderal. Kita kehilangan simbol. Kita kehilangan sebuah nyala terang yang tak silau. Ia dimakamkan di atas tanah wakafnya sendiri di Cikeas, Bogor—tempat yang ia persembahkan untuk para pejuang sejati Bhayangkara. Bahkan setelah wafat pun, ia masih memberi.

Hari ini, saya menulis ini bukan hanya karena kehilangan. Tapi karena cinta dan rasa hormat. Karena pernah duduk bersamanya, mendengar hikmah dari lisannya, dan menyaksikan keberanian yang tak dibuat-buat. Saya bersaksi, beliau adalah satu dari sedikit yang tak tergelincir oleh kekuasaan. Yang jujur itu tetap teguh. Yang benar itu tetap kuat.

Dan ya, Puang… engkau benar. Kebenaran memang tidak pernah takut. Dan engkau sendiri adalah bukti dari itu.

Semoga Allah menerimamu dan memberimu sebaik-baik tempat di sana. Aamiin.