Serunya Nobar Jodoh 3 Bujang di Surabaya, Dihadiri Para Pemain dan Sutradara

Serunya Nobar Jodoh 3 Bujang di Surabaya, Dihadiri Para Pemain dan Sutradara

Serunya Nobar Jodoh 3 Bujang di Surabaya, Dihadiri Para Pemain dan Sutradara

Surabaya, Kabarindo – Nonton bareng (nobar) film Jodoh 3 Bujang di XXI di Royal Plaza Surabaya pada Kamis (26/6/2025) sore berlangsung seru dan semarak, karena dihadiri beberapa pemain dan sutradaranya.

Penonton antusias menunggu film diputar dan asik menyimak jalan ceritanya. Mereka merespon ucapan-ucapan atau adegan-adegan yang dibawakan para pemain. Misalnya jika ada yang lucu, mereka akan tertawa, dan bersorak gembira ketika kisahnya berakhir bahagia.

Film komedi romantis ini diproduseri oleh Chand Parwez Servia dan Futih Aljiha dengan sutradara Arfan Sabran. Skenario ditulis oleh Arfan bersama Erwin Wu dan Alwi Shihab. Jodoh 3 Bujang dibintangi oleh Jourdy Pranata (Fadli), Christoffer Nelwan (Kifly),, Rey Bong (Ahmad), Barbie Arzetta (Karin), Aisha Nurra Datau (Rifa), Maizura (Nisa), Elsa Japasal (Asha), Arswendy Bening Swara (Mustapa), Cut Mini (Fatimah), Nugie (Pak Malik), Iwan Coy (Ariping), Zakaribo (Pirre), Le Roy Osmany (ayah Rifa), Nunu Datau (ibu Rifa) dan lain-lain.

Jodoh 3 Bujang diangkat dari kisah nyata tentang tiga bujang bersaudara yaitu Fadly, Kifly dan Ahmad dengan latar belakang keluarga Bugis-Makassar. Mereka diminta si ayah, Mustapa, untuk nikah kembar, karena keterbatasan biaya dalam memenuhi tradisi. Si ayah mengatakan dirinya sudah tidak produktif lagi dan telah menyiapkan bujet Rp.300 juta untuk pernikahan ketiga putranya. Karena itu, ia mendesak mereka untuk menikah bersamaan guna menghemat biaya. Namun bujet tersebut tidak cukup untuk memberikan uang panai kepada keluarga calon pengantin perempuan. Di sinilah timbul konflik pada diri Fadli, si sulung dari ketiga pemuda tersebut. dengan Nisa kekasihnya. Nisa tiba-tiba dijodohkan orang tuanya dengan pria lebih mapan yang mampu memberikan uang panai Rp.500 juta. Fadly harus menemukan jodoh penggantinya dalam waktu singkat yang tersisa, atau pernikahan kembar mereka terancam batal.

Seusai pemutaran film, sutradara Arfan Sabran dan para pemain tampil di depan layar lebar menemui penonton dan mengajak berbincang. Mereka juga membagikan tiga T-shirt dengan memberikan pertanyaan kepada penonton. Banyak yang berebut untuk menjawab dengan antusias.

Arfan menjelaskan, Jodoh 3 Bujang ingin menangkap bagaimana realitas kota Makassar saat ini, bagaimana generasi mudanya menghadapi tradisi yang masih dianut oleh orang tua mereka, namun juga harus berhadapan dengan realitas kehidupan modern.

“Di film ini, saya ingin memperlihatkan bagaimana pergeseran tradisi tersebut serta dampaknya terhadap generasi yang lebih tua maupun generasi muda sekarang,” katanya.

Jourdy yang memerankan Fadli, menambahkan ia merasa tertantang dengan premis film tersebut, bagaimana tiga bersaudara mau menikah bersamaan, namun hubungan si sulung dengan kekasihnya kandas, karena terkendala oleh tingginya uang panai.

“Aku belum pernah lamaran ataupun menikah. Jadi itu tantangan juga. Mungkin Jourdy dan Fadly punya kemiripan,sama-sama dalam fase mencari jodoh. Dan film ini jadi lebih menarik bagiku, karena belajar budaya seperti adanya uang panai yang menjadi standar tertentu, yang menurutku jauh dari logikaku. Jadi aku banyak diskusi untuk memahami kultur Bugis-Makassar di film ini,” terangnya.

Maizura menuturkan, sebagai orang asli Bugis, ia tak kesulitan mengucapkan dialog dalam dialek Makassar. “Bisa dibilang aku mengajari teman-teman pemain ngomong dalam Bahasa Makassar,” ujarnya lalu tertawa.

Menurut Aisha Nurra Datau, sosok Rifa maupun Nisa menghadapi konflik batin masing-masing. Nisa sebenarnya bukan karakter antagonis. Ia menjadi korban pasif dari sistem yang begitu menekan. Karakternya kompleks, ia dituntut untuk terlihat biasa-biasa saja, namun mengalami konflik batin dan menyimpan luka. Hal ini dialami banyak perempuan di dunia nyata yang tidak bisa memilih jodoh sesuai keinginan mereka,

Aisha menambahkan, karakter yang diperankannya sangat bertolak belakang dengannya, Namun ia mencoba memahami Rifa dan berempati padanya.

“Selain dari bahasa dan budaya yang harus dipelajari, karakter Rifa itu sebenarnya sangat berbeda denganku. Jadi aku harus menyelami lebih dalam dan banyak berdiskusi dengan sutradara,” paparnya.