JF3 Talk Vol.2, Irene Umar: Fashion Indonesia Harus Jadi Simbol Budaya dan Kekuatan Ekonomi Global

JF3 Talk Vol.2, Irene Umar: Fashion Indonesia Harus Jadi Simbol Budaya dan Kekuatan Ekonomi Global

KABARINDO, SERPONG – Jakarta Fashion & Food Festival (JF3) kembali menggelar JF3 Talk Vol.2 di Teras Lakon, Summarecon Serpong, Tangerang, Rabu (11/6/2025). Forum diskusi ini menghadirkan sosok penting dari ranah ekonomi kreatif nasional, Irene Umar, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Republik Indonesia.

Mengawali diskusi, Thresia Mareta, Advisor JF3 sekaligus Founder LAKON Indonesia, menyoroti stagnasi dalam perkembangan ekosistem fashion Tanah Air. Ia menegaskan bahwa potensi para kreator lokal sangat besar, namun memerlukan dukungan nyata dari lingkungan dan sinergi lintas sektor untuk bisa berkembang lebih jauh.

“JF3 hadir sebagai wadah yang memperkuat ekosistem ini. Kami ingin mendorong fashion Indonesia agar tak hanya diakui di dalam negeri, tapi juga menjadi kekuatan budaya dan ekonomi di panggung global,” ujar Thresia.

Ia pun mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk kembali meninjau perannya masing-masing demi kontribusi yang lebih berdampak.

Dalam kesempatan ini, Irene Umar menyampaikan pemaparan yang strategis mengenai arah kebijakan pemerintah dalam memperkuat sektor ekonomi kreatif nasional. Ia menegaskan bahwa tiga subsektor utama saat ini menjadi fokus: kuliner, kriya, dan fesyen—dengan fesyen dianggap sebagai sektor strategis karena merepresentasikan jati diri budaya dan memiliki peluang besar di pasar global.

“Kekayaan kain tradisional kita adalah keunggulan kompetitif yang tak dimiliki negara lain. Namun, untuk menjadikan fashion Indonesia mendunia, kita butuh kolaborasi lintas sektor yang kuat,” ujar Irene.

Ia menekankan pentingnya standarisasi, kurasi, serta penciptaan nilai sebagai fondasi agar industri fesyen Indonesia mampu bersaing secara internasional. Menurutnya, peran pemerintah harus bersinergi dengan ekosistem kreatif seperti JF3 yang bisa menjadi panel kolaboratif, sekaligus mitra strategis dalam membuka ruang lebih luas di industri.

“JF3 dapat menjadi jembatan antara pemerintah dan pelaku industri dalam menyederhanakan proses yang selama ini rumit. Tujuannya satu: agar semua pihak dapat terlibat aktif dalam membangun fashion Indonesia yang berkelas dunia,” tambahnya.

Diskusi juga menghadirkan pelaku industri seperti Nova dari Rizkya Batik, yang berbagi pengalaman menghadapi tantangan sejak 2010. Meski batik memiliki pasar tersendiri sebagai warisan budaya, ia mengakui bahwa keterbatasan infrastruktur dan kurangnya sumber daya manusia masih menjadi hambatan utama.

“Kami sudah menjajaki kolaborasi internasional untuk memperluas promosi. Tapi tantangan utamanya tetap pada bagaimana mendorong penjualan, bukan sekadar meningkatkan awareness,” ujar Nova.

 

Sementara itu, Yanita Patriella dari Bisnis Indonesia mengangkat isu penting dalam sesi tanya jawab, mulai dari keberlanjutan industri fashion, fenomena thrifting di e-commerce, hingga dampak besar dari tren fast fashion. Ia mempertanyakan langkah konkret pemerintah dalam menjawab tantangan tersebut.

Gelaran JF3 Talk Vol.2 ini sekali lagi menjadi bukti bahwa industri fashion Indonesia tidak kekurangan talenta, namun membutuhkan ekosistem yang lebih inklusif, strategis, dan berdaya saing tinggi—dengan kolaborasi sebagai kunci utama. Foto: Dok. JF3