Kritik, Ketulusan, dan Kekuatan Seorang Pemimpin
Oleh Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur Dehills Institute
Ada satu adegan dalam serial Designated Survivor (tayang di Netflix) yang begitu sederhana namun mengandung kekuatan dramatis dan filosofis yang luar biasa. Seorang pegawai rendahan di Gedung Putih, dalam ruang paling tak terduga: toilet pria—meluapkan isi hatinya. Ia kecewa. Ia khawatir. Ia mempertanyakan kenapa bangsa sebesar Amerika harus dipimpin oleh seseorang yang menurutnya tidak layak menjadi presiden.
Ia menyampaikan itu dengan jujur. Tulus. Karena ia mengira sedang berbicara dengan teman sejawat. Tapi ternyata, “teman” di bilik sebelah adalah presiden itu sendiri.
Dalam cerita biasa, ini bisa menjadi akhir bagi si pegawai. Tapi dalam narasi kepemimpinan yang lebih tinggi, ini justru menjadi titik balik. Presiden tidak tersinggung. Tidak membalas dengan kemarahan, apalagi kekuasaan. Tidak mendepaknya dari lingkaran istana. Sebaliknya—ia justru menawarkan jabatan. Sebuah tempat terhormat di lingkaran dalam: staf khusus presiden.
Apa makna dari peristiwa ini?
Pertama, bahwa ketulusan adalah kekuatan yang bisa menjebol tembok kekuasaan. Pegawai tersebut tidak sedang menjilat, tidak sedang mencari panggung. Ia hanya sedang menyampaikan apa yang ia rasakan sebagai seorang warga dan pegawai negara. Ini bukan suara benci, ini adalah suara harapan yang menyamar sebagai keluhan.
Kedua, bahwa seorang pemimpin sejati tidak takut dikritik, bahkan tahu cara mengubah kritik menjadi bahan bakar perubahan. Pemimpin besar bukanlah mereka yang dikelilingi oleh pujian, melainkan mereka yang berani mendengar suara paling jujur, sekalipun menyakitkan. Apalagi jika suara itu datang dari orang kecil yang tidak berkepentingan selain ingin melihat negaranya berjalan baik.
Ketiga, bahwa kepekaan terhadap suara yang tidak populer adalah kualitas langka—dan agung. Pemimpin seperti ini langka, karena banyak pemimpin merasa bahwa kritik adalah ancaman, bukan masukan. Tapi pemimpin yang paham bahwa kekuatan sejatinya terletak pada kemampuannya menjadikan kritik sebagai cahaya, ia akan selalu tumbuh dan menjadi lebih dari sekadar penguasa. Ia akan menjadi pemimpin yang membawa harapan.
Adegan itu mengajarkan kita bahwa jabatan bukan soal kelayakan yang diklaim orang lain, melainkan soal respon terhadap keraguan. Dan bahwa harapan terhadap bangsa ini bisa lahir bukan dari panggung politik, tapi dari bilik toilet yang menjadi ruang pengakuan yang jujur.
Kita butuh lebih banyak pemimpin seperti itu. Pemimpin yang menjadikan lawan bicaranya yang paling kritis, sebagai mitra kerja paling strategis. Karena dari sanalah kebijakan terbaik lahir: dari keberanian mendengar yang tak mengenal jabatan.
Comments ( 0 )