MENJELANG SENJA ERA MEDIA SOSIAL Seruan Nurani Untuk Mark Zuckerberg dan Arsitek Zaman Digital
Ketika Mark Zuckerberg menyatakan bahwa era media sosial sedang menuju akhirnya, dunia tersentak bukan karena keterkejutan teknis, tetapi karena suara itu datang dari jantung revolusi digital itu sendiri. Ia seperti mendengar seorang pemahat mengabarkan bahwa patung yang ia ukir selama dua dekade kini akan ia hancurkan sendiri Atau setidaknya diubah wujudnya secara radikal.
Namun di balik narasi teknologi dan bisnis, kita mesti membaca lapisan-lapisan terdalamnya. Ini bukan semata perubahan antarmuka atau pergeseran platform dari media sosial ke kecerdasan buatan. Ini adalah pergeseran pusat kendali kesadaran global. Dan ketika kesadaran manusia mulai dipindahkan dari ruang sosial ke dalam ruang yang ditentukan oleh algoritma dan kepentingan tersembunyi, kita tak sedang bicara tentang teknologi, tapi tentang nasib peradaban.
Media Sosial Bukan Lagi Alat, Ia Sudah Menjadi Ruang Eksistensial
Selama lebih dari dua dekade, media sosial telah mengubah cara manusia melihat dirinya sendiri dan orang lain. Ia bukan lagi sekadar alat komunikasi, tetapi telah menjadi ruang ontologis: ruang tempat manusia mengukuhkan keberadaannya, menyuarakan keyakinan terdalamnya, merasakan empati, atau bahkan kehilangan dirinya sendiri.
Di Facebook, Instagram, dan platform lain, manusia bukan hanya berbagi Mereka menjadi. Menjadi citra, menjadi narasi, menjadi angka. Media sosial telah membentuk cara manusia menyadari dunia Dan lebih jauh, menyadari diri.
Maka ketika seseorang yang telah membentuk ruang eksistensial umat manusia ini berkata, “era ini akan berakhir,” kita harus bertanya: apa yang akan menggantikannya?
Dan siapa yang akan mengendalikan ruang kesadaran manusia berikutnya?
Ketika Platform Tak Lagi Netral: Kapital, Kekuasaan, dan Kepalsuan
Selama ini, media sosial diklaim sebagai ruang netral Ruang di mana siapa saja bisa bicara, siapa saja bisa didengar. Tapi realitas menunjukkan sebaliknya. Dalam praktiknya, media sosial adalah medan yang tidak seimbang. Yang bersuara paling keras bukan yang paling benar, tapi yang paling dibela algoritma.
Dan algoritma itu bukan makhluk netral. Ia tunduk pada logika kapital dan kekuasaan. Ia diarahkan bahkan dikorbankan Demi menjaga stabilitas finansial perusahaan, kenyamanan investor, dan dominasi ideologis pemegang kendali dunia.
Hari ini, kita menyaksikan bagaimana narasi yang berpihak pada nilai-nilai luhur seperti keadilan untuk Palestina, kebebasan berekspresi yang kritis, atau pembelaan terhadap kemanusiaan yang tertindas justru dianggap melanggar “pedoman komunitas”.
Sebaliknya, kebohongan sistematis, penindasan berskala negara, dan propaganda yang menyuburkan genosida justru lolos bahkan diamplifikasi.
Inilah kolonialisme dalam bentuk paling canggih: kolonialisme kesadaran. Bukan lagi tanah yang dijajah, tapi kebenaran. Bukan lagi tubuh yang dirantai, tapi persepsi.
Dan ironisnya, alat penjajahan itu bukan senjata militer, melainkan gawai di genggaman manusia gawai yang membawanya ke dalam ilusi kebebasan.
Zionisme Digital dan Bahaya Pengkhianatan Etika
Kita harus bicara jujur: kekuatan yang paling konsisten menggunakan media sosial untuk menindas suara kebenaran adalah zionisme dalam bentuk politik dan kekuasaannya yang global.
Zionisme hari ini bukan lagi sekadar gerakan politik la telah menjelma menjadi kekuatan yang mengendalikan narasi. Ia menekan negara, membungkam akademisi, menyusup ke dunia teknologi, dan menekan para pemilik platform digital agar patuh pada agenda-agenda mereka.
Ini bukan teori konspirasi. Ini realitas. Kita melihatnya dari algoritma yang membungkam suara para pejuang kemerdekaan Palestina, hingga sensor diam-diam terhadap lembaga kemanusiaan yang menolak tunduk.
Mark Zuckerberg, Anda bukan sekadar pengusaha. Anda berada di titik kritis peradaban: antara tunduk pada tekanan yang busuk Atau Berdiri Bersama Sejarah dan Kemanusiaan Sejati.
Teknologi Boleh Berkembang, Tapi Nurani Tidak Boleh Mati
Maka saat Anda mengatakan era ini akan berakhir, kami bertanya:
Akan dibawa ke mana kesadaran umat manusia?
Akan diarahkan oleh siapa ruang digital yang baru?
Apakah akan diarahkan Oleh Nurani Yang Luhur, atau oleh kekuatan yang menyamarkan dominasi sebagai inovasi?
Media sosial pernah menjadi harapan bagi dunia: ruang di mana suara kecil bisa menggerakkan massa, di mana kebenaran bisa menembus tembok propaganda negara.
Namun kini, harapan itu sedang dirampas Oleh kekuatan yang tak terlihat namun sangat nyata: kapitalisme yang melayani kekuasaan, bukan kemanusiaan.
Jika perubahan ini akan menutup era media sosial seperti kita mengenalnya, maka kita butuh jaminan bahwa yang lahir menggantikannya bukan distopia baru yang lebih halus, lebih canggih, tapi lebih mematikan Karena membunuh kesadaran tanpa darah.
Tuan Zuckerberg, sejarah tidak memuliakan orang yang berkuasa. Sejarah memuliakan orang yang memihak pada yang benar Meski harus melawan arus.
Jangan biarkan Anda dikenang sebagai arsitek teknologi yang akhirnya menyerahkan kendali peradaban kepada para predator kebenaran.
Anda bisa memilih menjadi penentu arah baru yang lebih adil, lebih etis, lebih manusiawi.
Karena kelak, ketika seluruh sistem telah berganti, yang tetap abadi adalah pertanyaan ini:
Apakah Anda berdiri bersama Nurani Umat Manusia? Ataukah Anda menjualnya Dalam nama pembaruan?
Jika Era Ini Harus Berakhir, Maka Biarlah Ia Wafat dalam Kehormatan
Biarlah media sosial, jika memang akan memasuki senjanya, wafat dalam martabat. Sebagai ruang yang pernah memuliakan suara yang tertindas, menyambungkan cinta, menyuarakan keadilan.
Dan bukan sebagai ruang yang mengkhianati suara-suara itu, demi kompromi yang penuh noda.
Karena teknologi boleh mati.
Kapital boleh berganti.
Tapi Nilai-Nilai Kebenaran, Nurani, dan Keadilan Akan Tetap Hidup Dalam Sejarah Umat Manusia.
Penulis: ZA Zen
Pemerhati Seni, Budaya & Peradaban
Alumni Teater Populer angkatan 1986
Comments ( 0 )