Pendamping Haji : Puncak Spiritual Saya Bukan dari Lantunan Doa di Raudhah dan Wukuf di Arafah, Justru Saat Mengganti Popok Seorang Nenek

Pendamping Haji : Puncak Spiritual Saya Bukan dari Lantunan Doa di Raudhah dan Wukuf di Arafah, Justru Saat Mengganti Popok Seorang Nenek

KABARINDO, MADINAH - Jika ada yang bilang bahwa sebagian petugas "dompleng haji", saya ingin buktikan bahwa itu salah. Mungkin ada satu dua petugas yang tidak bekerja secara optimal, tapi di lingkungan saya bekerja tidak ditemukan. Kenapa? Karena memang sejak awal mereka ingin mendedikasikan diri untuk melayani dan membantu jemaah lansia dan disabilitas dari tanah air. Itulah awal cerita dari petugas haji bernama, Siti Maria Ulfa.

Berdasarkan wawancara mendalam, ia menceritakan kisahnya selama melayani jemaah lansia dan disabilitas. Ulfa, begitu ia biasa dipanggil mengatakan, saya ini bukan siapa-siapa. "Saya hanya seorang Katim pada Pusat Pembiayaan Pendidikan Agama dan Pendidkan Keagamaan (PUSPENMA) Kementerian Agama yang kebetulan diberi amanah untuk mendampingi para jemaah haji, khususnya mereka yang lanjut usia dan difabel," aku Ulfa dilansir dari Kemenag.or.id, Kamis (19/6/2025). 

Amanah ini bukan sesuatu yang pernah saya jalani sebelumnya. Tapi sejak awal tugas ini saya terima, saya tahu ini bukan sekadar tugas administratif, tetapi ladang pengabdian yang memiliki nilai ibadah sangat besar. Saya niatkan sepenuh hati ingin melayani dengan tulus, membantu tanpa pamrih, dan merawat mereka seolah-olah mereka adalah orang tua saya sendiri.

Dari sinilah perjalanan spiritual saya bermula. Bukan dari lantunan doa di Raudhah, bukan pula dari wukuf di Arafah. Tapi dari hal-hal yang barangkali tampak sepele, tapi punya gema yang dalam di dalam hati. Karena kesibukan saya melayani jemaah yang membutuhkan pendampingan, saya mungkin tidak seperti yang lain, bisa memiliki keluangan waktu banyak untuk berdoa di tempat-tempat mustajab.

Selama saya melayani mereka, saya mulai memahami, bahwa karakter jemaah haji itu beragam, unik, dan penuh warna. Ada seorang nenek difabel yang terpisah dari anaknya karena berbeda Syarikah, yang satu berangkat lebih dulu, yang lain tertunda karena sakit. Kami di layanan lansia dan disabilitas mengambil inisiatif.

Lalu kami bantu mereka agar tetap bisa bersama. Manifest keberangkatan diubah, kami koordinasikan dengan Daker Madinah, mereka kami kumpulkan dulu di hotel transit, lalu diberangkatkan bersama. Itu demi satu hal, agar sang ibu dan anak bisa beribadah dalam ketenangan, bersama dalam ziarah, dan saling menguatkan di tanah suci.

Ada pula seorang nenek lain yang saya temani menuju Raudhah. Jalannya lambat, tubuhnya ringkih, tapi matanya menyala-nyala penuh harap. "Saya ingin sekali salat di Raudhah, Nak," katanya. Maka saya tuntun ia perlahan dengan mendorong kursi roda, menyusuri lorong-lorong Masjid Nabawi, menembus kerumunan, memastikan ia bisa bersujud di taman surga. Dan ketika ia selesai, matanya basah. Tapi saya tahu, bukan hanya ia yang terharu. Saya pun menggigil dalam diam.

Puncak spiritual saya, boleh jadi bukan saat tawaf atau sa’i. Tapi saat saya mengganti popok seorang nenek yang sudah lemah, yang pampers-nya bocor sejak dari pesawat. Koper belum datang, karena ia termasuk jemaah fast track. Ia hanya bisa meringkuk malu, dan saya tahu, ini bukan sekadar soal fisik.

Lalu, saya carikan pampers baru di toko, saya bantu bersih-bersih, saya ganti dengan penuh rasa hormat. Nenek itu menatap saya sambil menahan tangis, lalu menyelipkan uang sebagai ucapan terima kasih. Saya tolak dengan lembut. "Saya senang bisa membantu, Nek. Semoga sehat-sehat terus ya…"

Sungguh, saya bukan siapa-siapa. Tapi di hadapan para lansia ini, saya seperti menjadi anak, menjadi cucu, menjadi perpanjangan tangan Allah untuk memberi sedikit kenyamanan. Dan ketika saya menangis diam-diam di malam hari, bukan karena lelah. Bukan karena saya iri kepada orang lain yang lebih banyak beribadah dan berdoa di tanah Haram.

Tapi, karena saya sadar, saya yang faqir ini, yang belum bisa berbakti sepenuhnya kepada orang tua saya sendiri. Justru diberi kesempatan untuk berbakti kepada orang tua orang lain di tanah suci. Mungkin ini jalan yang Allah pilihkan agar saya belajar. Belajar mencintai, belajar melayani, belajar menyentuh langit lewat pengabdian yang sunyi.

Saya hanya berharap satu hal, ke depan, layanan untuk jemaah lansia dan difabel bisa dipermudah, terutama dalam hal penggabungan pendamping dari Indonesia. Jangan sampai mereka terpisah Syarikah, karena mereka butuh pendampingan yang bukan hanya logistik, tapi juga emosional. Kita, para petugas haji, terbatas jumlahnya. Tapi cinta dan empati tak pernah terbatas kalau kita benar-benar meniatkannya.

Dan dari Madinah hingga Makkah, dari setiap kursi roda yang saya dorong, dari setiap senyum lemah yang dibalas doa, saya belajar satu hal, bahwa puncak spiritual bukan sekadar tempat. Tapi perasaan, saat hati ini benar-benar hadir, dan Allah terasa begitu dekat dalam setiap bentuk pelayanan yang tulus.

Apa yang saya sampaikan ini adalah kisah sejati (true story) sekaligus saya menjadi saksi, bahwa kawan-kawan petugas haji telah menjalankan tugasnya dengan sepenuh jiwa, raga, bahkan nyawa di tengah kepadatan manusia dan terik mentari Mekkah dan Madinah. Wallahu a'lam. (Ahsan). 

FOTO (Istimewa) : Petugas saat menyuapi jemaah haji