Perayaan Natal di Saudi yang Tidak Lagi Diam-Diam

Perayaan Natal di Saudi yang Tidak Lagi Diam-Diam

KABARINDO, JEDDAH – Aturan yang lebih longgar menyebabkan perayaan Natal di Arab Saudi menjadi lebih umum dan terbuka, meskipun masih dalam kondisi tidak mencolok, menurut laporan jurnalis New York Times, Vivian Yee, Jumat (24/12).

Pemerintah Arab Saudi, yang terkenal dengan bentuk Islam ultrakonservatifnya dengan aturan agama yang ketat, pernah melarang perayaan Natal.

Natal telah lama dirayakan secara diam-diam di antara para pekerja asing dan oleh beberapa orang Saudi yang memiliki hubungan dengan Barat, serta tentunya bagi umat Kristiani yang tinggal di sana.

Bila dulu mereka memilih untuk merahasiakan perayaan mereka dan hanya melaksanakannya di komunitas tertutup atau keluarga, kini tanda-tanda Natal bahkan terlihat di muka umum tanpa adanya sanksi dari pemerintah.

Selama sekitar satu tahun terakhir, etalase toko di Riyadh, ibu kota yang ketat peraturannya, telah mulai memajang kotak-kotak hadiah dan kalender Advent yang semua bernuansa warna merah dan hijau, sementara kafe-kafe membagikan kue jahe dan toko bunga mengiklankan "pohon liburan."

Riyadh Boulevard, sebuah kompleks perbelanjaan, makan, dan hiburan baru yang sangat besar yang menarik banyak orang Saudi hingga larut malam, kini memiliki sebuah rumah roti jahe raksasa dan kawanan rusa kutub yang berkelap-kelip.

Pangeran Bereputasi Ganda

Perubahan besar itu dianggap terjadi karena  kebijakan pembaruan yang diluncurkan oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman, yang secara aktif mempromosikan Arab Saudi baru yang lebih toleran dan moderat demi menarik investasi asing dan turis.

Beberapa kelonggaran aturan yang dipicu kebijakannya meliputi pemberian lebih banyak kebebasan kepada perempuan di sana, termasuk izin mengemudi sendirian bagi perempuan, dan perizinan konser musik elektronik,

Meskipun kebijakannya ini memenangkan hati jutaan pemuda Saudi, publik luas tidak akan lupa keterlibatan sang pangeran dalam perang yang meluluhlantakkan Yaman, serta dalam pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Menurut Yee, Sheikh bin Salman itu juga dituding berada di balik upaya pembungkaman pembangkang konservatif dan serangan terhadap pertemuan keagamaan non-muslim.

(Foto: Pangeran Muhammad Bin Salman bersama Presiden Jokowi pada KTT G20 Osaka 2019)

Perubahan Halus

Sesungguhnya, sebelum Putra Mahkota Muhammad bin Salman mendobrak aturan lama di negaranya, orang-orang di Saudi yang besar dalam budaya Barat sudah terbiasa mengakali terbatasnya kehidupan mereka akibat peraturan-peraturan yang ketat.

Mereka akan berkendara ke Bahrain atau terbang ke Dubai untuk menonton film. Pria dan wanita bercampur dengan bebas di tempat pribadi, walaupun mereka tetap berpisah di depan umum. Wanita-wanita melepas jilbabnya saat ke luar negeri, dan dalam acara keluarga serta kerabat yang rapat, orang-orang berdandan untuk Halloween, mengadakan pesta ulang tahun anak-anak mereka, serta bertukar hadiah pada Hari Natal.

Tentu saja, Natal masih resmi haram di Arab Saudi, tetapi orang-orang di sana semakin berani untuk mencoba, dan menganggap peraturan yang ada belum sepenuhnya mengharamkan perayaan umat Kristiani itu.

Pada tahun 2018, otoritas bea cukai Saudi pernah memperingatkan di Twitter bahwa pohon Natal dilarang memasuki kerajaan. Hal ini menyebabkan diolok-oloknya institusi tersebut di internet secara luas.

Toko perlengkapan pesta di Riyadh, Good Ship Lollipop di tahun 2020 pernah memajang empat pohon natal di jendela mereka sebelum pemilik toko akhirnya menurunkannya, atas desakan pihak berwenang di Saudi. 

Tahun ini, mereka memutuskan untuk memajang pohon-pohon itu lagi, bersama dengan berbagai dekorasi Natal pada umumnya. Satu-satunya alasan mereka tidak menjual pohon sebanyak tahun lalu, kata seorang karyawannya, adalah karena persaingan ketat dari toko-toko Riyadh lainnya yang juga melakukan hal serupa.

Chris Congco, si karyawan, menyebutkan bahwa barang-barang Natal menyumbang sekitar 70 persen dari penjualannya selama sebulan terakhir, dibeli oleh beberapa orang Saudi dan juga oleh ekspatriat.

Katanya, “[Penjualan] Itu mungkin tidak diizinkan secara resmi,” katanya, “tapi saya pikir dan saya rasa tidak apa-apa.”

Tidak hanya Natal, semua perayaan agama lain memang secara resmi tidak diakui di kerajaan tersebut. Bahkan, perayaan umat muslim selain Idul Fitri dan Idul Adha [bahkan juga Isra Mi’raj – red] dianggap sebagai kebiasaan yang salah.

Sepertinya, kebijakan otoritas Saudi mulai bergeser. Dari pelarangan terang-terangan seperti twit anti pohon Natal, ke didiamkannya perayaan, selama tidak terlalu besar. ***(Sumber dan Foto: The New York Times)