Pilkada Terpisah: Antara Ruang Demokrasi dan Irama Kekuasaan

Pilkada Terpisah: Antara Ruang Demokrasi dan Irama Kekuasaan
Pilkada Terpisah: Antara Ruang Demokrasi dan Irama Kekuasaan

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsyi

Deputi Perhubungan DPP Partai Demokrat, Pengamat Komunikasi Publik

 

Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini memutus bahwa penyelenggaraan Pilkada tidak harus disatukan secara waktu dengan pemilu nasional. Artinya, pemilu presiden dan legislatif tetap digelar serentak, sementara pemilihan kepala daerah dapat dilakukan terpisah. Putusan ini membuka perdebatan besar—antara mereka yang memandangnya sebagai bentuk kemajuan demokrasi yang lebih adaptif, dan mereka yang khawatir akan terjadinya fragmentasi politik serta pemborosan sumber daya.

 

Sebagai bangsa demokratis yang besar dan kompleks, sudah sepatutnya kita membaca putusan ini dengan cara yang lebih reflektif: melihat dua sisi mata uang demokrasi itu sendiri. Di sinilah pentingnya menghadirkan dialektika konstitusional yang sehat: tesis vs antitesis, agar publik dapat menciptakan sintesisnya secara matang.

 

Tesis: Demokrasi yang Lebih Dekat dan Kontekstual

 

Bagi para pendukung putusan MK, pemisahan Pilkada dari pemilu nasional merupakan bentuk penguatan otonomi daerah. Mereka berargumen bahwa kepala daerah tidak seharusnya dipilih di tengah euforia nasional yang seringkali menenggelamkan isu-isu lokal. Dengan memisahkannya, rakyat akan lebih fokus menilai kualitas personal dan rekam jejak para kandidat di daerah—tanpa bayang-bayang popularitas tokoh pusat atau efek ekor jas (coattail effect) dari capres tertentu.

 

Selain itu, putusan ini dipandang sebagai penyesuaian yang sehat terhadap beban teknis dan administratif KPU, yang dalam pemilu serentak 2019 sempat kewalahan hingga menyebabkan ratusan petugas meninggal karena kelelahan. Dengan memisahkan siklusnya, diharapkan pelaksanaan pemilu bisa lebih fokus, efisien, dan manusiawi.

 

Ada juga pandangan bahwa keadilan konstitusional tidak berarti keseragaman. MK, dalam putusannya, dinilai telah mengartikulasikan prinsip bahwa keadilan juga harus responsif terhadap dinamika sosiopolitik. Artinya, pemilu serentak tidak harus dimaknai sebagai keharusan menyatukan semua pemilihan pada waktu yang sama, tetapi menyatukan semangat pemilihan yang adil dan partisipatif sesuai dengan konteksnya.

 

 

Antitesis: Demokrasi yang Terbelah dan Melelahkan

 

Namun, sisi lainnya tidak kalah penting untuk dikaji. Pemisahan Pilkada dari pemilu nasional berisiko menciptakan fragmentasi demokrasi. Kepala daerah yang terpilih dalam momentum berbeda bisa jadi tidak merasa bagian dari orkestrasi pembangunan nasional, bahkan bisa menjadi oposisi laten terhadap pemerintah pusat. Ketidaksinkronan ini rawan menghambat pelaksanaan program strategis yang membutuhkan kerja sama lintas tingkat pemerintahan.

 

Belum lagi biaya politik yang membengkak. Logistik, pengamanan, pengawasan, hingga pelatihan SDM harus dilakukan ulang. Dalam konteks fiskal pascapandemi dan tekanan ekonomi global, ini jelas bukan pilihan yang bijak.

 

Yang juga patut diwaspadai adalah kejenuhan publik. Pemilu nasional baru saja selesai, lalu Pilkada kembali menguras energi rakyat. Kampanye, mobilisasi massa, dan polarisasi sosial kembali terjadi. Dalam banyak kasus, situasi ini justru melahirkan apatisme, pragmatisme, dan gelombang politik uang yang lebih masif.

 

Secara politik, pemilu yang dipisah juga membuka ruang balas dendam kekuasaan. Partai yang kalah di pusat bisa menjadikan Pilkada sebagai babak kedua kontestasi nasional. Alih-alih menciptakan stabilitas, skema ini justru memperpanjang ketegangan politik dan memperlambat rekonsiliasi pascapemilu.

 

Demokrasi Butuh Ruang, Tapi Juga Irama

 

Demokrasi bukan sekadar soal memilih, tapi juga soal bagaimana hasil pemilihan itu berdampak pada kualitas hidup rakyat. Pemilu yang terlalu sering dan terlalu politis justru bisa mereduksi makna demokrasi itu sendiri menjadi ilusi partisipasi dalam kebisingan.

 

Putusan MK ini, pada akhirnya, menjadi semacam “stress test” bagi kedewasaan politik bangsa kita. Jika dijalankan dengan integritas, maka Pilkada terpisah bisa menjadi ruang pendewasaan lokal yang positif. Namun jika dibiarkan liar dan tanpa kontrol, maka ia justru bisa melahirkan fragmentasi, dinasti politik, dan dualisme kekuasaan yang melemahkan bangsa.

 

Saatnya kita tidak hanya mempersoalkan kapan Pilkada digelar, tetapi bagaimana nilai-nilai demokrasi ditegakkan di dalamnya. Jangan sampai pemilu terpisah menjadi pemisah antara rakyat dan harapannya.

 

Indonesia tidak kekurangan pesta demokrasi. Yang kita butuhkan sekarang adalah perayaan akal sehat.

 

Semoga putusan ini bukan titik mundur, tetapi loncatan sadar menuju demokrasi yang lebih berkualitas, terukur, dan bertanggung jawab—baik di pusat maupun di daerah.