Tekuni Siter dan Karawitan, Teguh Santoso Ingin Lestarikan Musik Tradisional

Tekuni Siter dan Karawitan, Teguh Santoso Ingin Lestarikan Musik Tradisional

Tekuni Siter dan Karawitan, Teguh Santoso Ingin Lestarikan Musik Tradisional

Berharap ada penerus dari generasi muda

Surabaya, Kabarindo- Mungkin sedikit sekali dari generasi milenial dan gen Z yang mengenal Siter, alat musik tradisional Jawa dan Sunda. Ini karena jarang ditampilkan di depan khalayak, apalagi di kota-kota besar. Pemain Siter pun tergolong langka.

Salah seorang yang menekuni Siter adalah Teguh Santoso, pria berusia 55 tahun asal Sidoarjo. Ia sudah puluhan tahun menjadi pemain Siter, juga mengajar karawitan di sekolah.

Teguh menuturkan, awalnya ia belajar karawitan ketika SMA yang waktu itu difasilitasi oleh sekolah. Ia senang bisa memainkan alat musik gamelan berkat bimbingan gurunya.

“Saya senang, cepat bisa, karena gurunya baik, enak dan telaten mengajar,” ujarnya saat tampil di acara yang diadakan dalam rangka Hari Batik Nasional pada 2 Oktober 2024.

Teguh lalu tertarik dengan kesenian Campursari, kemudian menggelutinya dan mendirikan grup Keroncong Campursari yang sering diundang untuk tampil di berbagai acara atau hajatan. Namun khusus untuk main Siter, jarang sekali ada ‘tanggapan’.

“Belum tentu setahun berapa kali. Biasanya pas acara Hari Batik Nasional, misalnya di hotel. Entah kalau di kota-kota yang budaya Jawanya masih kental. Bisa saja pemain Siter main regular di hotel atau resto yang tamunya banyak wisatawan,” ujarnya.

Menurut Teguh, campursari memiliki cukup banyak penggemar, terutama di kalangan orang tua. “Banyak yang suka keroncong dan campursari, terutama orang-orang tua. Kalau anak muda generasi milenial dan gen Z, apalagi di perkotaan, jarang yang suka. Siter juga cuma orang-orang tua yang tahu. Gen Z mungkin nggak kenal,” ungkapnya.

Hal itu mendorong Teguh untuk terus menekuni Siter dan melestarikannya agar tak lenyap ditelan masa. Ia juga mendapatkan ketenangan saat memainkan Siter. Ia senang jika ada pengunjung yang menikmati petikan Siternya saat tampil, begitu pula jika ada anak muda yang mendekat lalu bertanya-tanya tentang Siter.

“Kalau ingin bisa main Siter, harus belajar gamelan dulu. Ini dasarnya. Kalau sudah kenal titi laras, baru belajar Siter. Kalau memang punya passion, bisa cepat menguasai. Tinggal diasah dengan sering berlatih dan main,” paparnya.

Teguh menjelaskan, Siter Jawa berbeda dengan Siter Sunda. Bentuk Siter Jawa vertikal dengan kumpulan nada pelog atau slendro, sedangkan Siter Sunda horizontal mirip kecapi Cina. Jumlah senar juga beda. Siter kecil dengan 12 senar hanya untuk tampil solo, sedangkan siter dengan jumlah 24 senar bisa untuk mengiringi sinden membawakan tembang-tembang Jawa atau tampil dalam karawitan.

Teguh menuturkan, pembuat Siter tergolong langka. Siter miliknya justru buatan orang Tionghoa di kawasan Keputih, Surabaya. Ia membelinya pada 10 tahun lalu seharga Rp.700 ribu lengkap dengan sejumlah senar cadangan sebagai ganti jika ada yang putus.

Siter dipetik menggunakan ‘kuku’, namun bisa pula dengan pick gitar. Jemarinya lincah memetik Siter membuat mata yang menatap jadi terpesona.

Teguh mengaku mematok honor Rp.300 ribu untuk sekali tampil selama 3 jam. Meski jarang mendapat ‘tanggapan’, namun ia berkomitmen untuk mendedikasikan diri terus menekuni Siter.

“Ini sudah panggilan jiwa,” ujarnya lalu tersenyum.

Namun ia berharap ada anak muda yang tertarik untuk belajar memetik Siter dan memainkannya, sehingga ada generasi penerus.