Ujug-Ujug
Erick Thohir merayap di tanah berlumpur ala prajurit penyelamat di lokasi bencana, di kesempatan lain fotonya yang mengenakan helm proyek datang ke tempat pembuangan sampah, atau ke peturasan umum di pompa bensin dan bertanya ke penjaga: "Kenapa enggak gratis ini? Kan ini fasilitas umum?"
Ganjar Pranowo mampir di dekat gerbang tol, lalu duduk di pembatas area parkir dan membuka rantang makanan yang ia tenteng, lalu makan dengan lahap ditonton dan difoto wartawan. Beberapa ekor kucing liar mendekat dan mengeong, mengendus aroma tempe dan sayur lodeh yang menjadi bekal sang gubernur siang itu.
Puan Maharani turun ke sawah, menjejak lumpur sebetis, dan mengenakan caping pelindung dari hujan dan sinar matahari, menanam padi bersama petani di area persawahan Sendangmulyo, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Airlangga Hartarto tiba-tiba muncul dalam video dengan aksinya berlatih Wing Chun, beladiri khas Airlangga menendang boneka kayu Wing Chun Wooden Dummy seolah-olah tengah memainkan pukulan dan elakan pada seorang lawan dengan tenaga dalam.
Gaya, tampilan, dan busana yang dikenakannya mengingatkan saya pada aktor Hongkong legendaris: Sammo Hung. Meski menjabat Ketua PB Wushu Indonesia yang membawahi para pendekar kingfu tanah di air -- seperti Lindswell Kwok yang merebut medali emas di Asian Games 2018 -- gaya Airlangga berlatih wing chun terlihat canggung dan kurang bertenaga.
Dan lain-lain. Dan tokoh-tokoh lain. Lain tokoh lain gaya, tapi sama jua yang saya tangkap: upaya membentuk citra diri yang merakyat, menggeluti keseharian khalayak, menekuri kegemaran publik.
Dan satu lagi, sepertinya semua hendak menempuh gaya Jokowi yang melekat sedari dulu kepadanya: turun ke sawah, masuk selokan, naik sepeda motor, dan seterusnya.
Mereka lupa pada satu hal: Jokowi memang sudah begitu tampang dan gerak tubuhnya. Kurus, tirus, wajah Melayu pinggiran, dan sedari kecil hidup di bantaran kali bersama orang banyak. Mungkin karena itu, kosakata Jawa "blusukan" melekat kepadanya, seolah-olah diciptakan olehnya dan diangkat ke ruang besar aksi politisi dalam wacana-wacana publik.
Lagipula, selera publik itu tidak menetap pada satu karakter belaka.
Ada zaman ketika rakyat begitu terpesona oleh pemimpin dengan gaya bergelora, orator yang pidatonya bisa memanggang emosi publik untuk mendukungnya serta menjunjung nasionalisme begitu rupa. Ada zaman ketika rakyat senang dengan tentara, gagah perkasa, gaya bicara yang menggelora. Di lain masa, rakyat menggilai tokoh sipil yang sederhana, rakyat jelata, orang tuanya tercantum dalam buku biografi, perangai lembut dan tak pandai berpidato.
Ada masa ketika rakyat mengelu-elukan tokoh yang tampil megah dan priyayi. Lalu setelahnya mungkin rakyat memimpikan lagi sosok yang angkuh dan berwibawa. Pernah juga rakyat terbuai menjunjung tokoh yang terzalimi.
Singkatnya, setiap zaman melahirkan tokoh dengan pesonanya sendiri. Mereka besar karena rakyat yang tengah menggandrungi. Hari ini ia disukai, esok ia mungkin telah disapih dari pikiran khalayak.
Apapun tujuan gaya dan lagaknya, citra yang baik, tertanam dan membekas di benak publik yang kian cerdas, datang dari sikap-sikap yang apa adanya, yang alami dan tak diongkosi, yang tak dipoles-poles.
Popularitas tak mungkin dirawat dengan baliho, iklan pariwara, berita media atau rekayasa peristiwa. Ia perpaduan antara kebutuhan publik, talenta sang tokoh, dan momentum.
Dan popularitas juga tak mungkin didaur ulang, ia tak menitis dari tokoh legenda ke anak-anaknya atau kepada yang berusaha menirunya. Ia juga tak bisa diulang. Popularitas itu berjubah momentum, jika jubahnya berganti, hilang pula kesempatan memanen buah ketenaran.
Sejuta kata-kata, berkuas-kuas kosmetika, bahkan dukungan topan badai media sosial, tak akan mengubah bayangan dirimu yang sesungguhnya.
Jadilah dirimu sendiri, tuan dan puan.
Lagipula, Belanda masih jauh, #eh.
Comments ( 0 )