Yang Abadi Itu Kepentingan…

Yang Abadi Itu Kepentingan…

Oleh: James Luhulima


KABARINDO, JAKARTA - Petinggi-petinggi PDIP yang terus marah-marah karena menganggap Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkhianat kepada PDIP. Itu terus terang agak mengherankan. 

Mengapa petinggi PDIP tidak bisa move on, atau move forward. Belum lagi ada beberapa tokoh politik yang bermain drama. Yang selama ini suka memainkan peran playing victim adalah mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kenapa PDIP kok sekarang ikut-ikut?

Kan di dalam dunia politik sejak lama dikenal kata-kata bijak yang menyebutkan, dalam politik tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang abadi hanyalah kepentingan. Ketika kepentingan berubah, atau kepentingan tidak sama lagi, maka kawan dapat menjadi lawan, dan lawan dapat menjadi kawan. Dan, itu hal biasa dalam politik.

Bergabung dengan partai politik itu kan bukan ikatan perkawinan, di mana kesetiaan diletakkan di tempat tertinggi. Orang bergabung dalam partai politik itukan kepentingannya politik. Jadi wajar saja jika kepentingannya berubah, atau kepentingannya tidak sama lagi, maka orang akan meninggalkan partai politiknya. Itu berlaku di seluruh dunia.

Jadi wajar saja, jika Presiden Jokowi kemudian meninggalkan PDIP karena menilai kepentingan antara dirinya dan PDIP sudah tidak sama lagi. Marah atau kecewa boleh, tetapi jangan berkepanjangan. Oleh karena itulah politik. Mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih itu tindakan yang berlebihan. Bagaimanapun PDIP selama ini sudah mendapatkan ”manfaat” dari kedudukan Jokowi sebagai Presiden.

Jokowi bukan petugas partai (dalam hal ini PDIP). Jokowi itu Presiden Indonesia. Ingat apa yang dikatakan Presiden Filipina Manuel L. Quezon (1935-1944): ”My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins.” Jadi, dengan menjadi Presiden, Jokowi itu milik rakyat Indonesia, dan bukan milik PDIP lagi. 

Meninggalkan Gus Dur

Bahkan, PDIP dan juga Megawati Soekarnoputri, sebagai Wakil Presiden, pernah ”meninggalkan” Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur, menjelang dan pada saat Presiden Gus Dur dilengserkan oleh MPR pada tahun 2001. Megawati Soekarnoputri sendiri kemudian diangkat menjadi Presiden, menggantikan Gus Dur. 

Dengan kata lain, Megawati Soekarnoputri ”senang” Gus Dur dilengserkan MPR sehingga kemungkinan bagi dia untuk menjadi Presiden terbuka. Bahkan, ada petinggi PDIP yang mendorong agar Megawati mengambil alih jabatan Presiden dari Gus Dur tanpa menunggu Sidang Umum MPR. Kekhawatiran bahwa jika pengambil-alihan jabatan Presiden itu tidak dilakukan melalui Sidang Umum MPR, maka legitimasi Megawati kurang kuat lah, yang mencegah hal itu dilakukan.

Namun, waktu itu tidak ada yang meributkan hal itu. Beruntung Gus Dur lebih marah kepada Ketua MPR Amien Rais karena dianggap menipu dirinya. Sebelum Gus Dur diangkat menjadi Presiden, Amien Rais sempat ditanya kiai, jangan-jangan nanti di tengah jalan Gus Dur diganti sebelum waktunya. Namun, Amien Rais menjamin itu tidak akan terjadi. Tetapi ternyata, Gus Dur diganti di tengah jalan, apapun yang menjadi alasannya.