Dirgahayu PPFI Ke-66; Inilah Fakta Sejarahnya!
Sedikit Catatan Sejarah untuk diketahui bersama.
KABARINDO, Salemba, Jakarta- Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) diresmikan pendirinya di Jakarta, Senin 16 Juli 1956 dengan Akta Notaris Meester Raden Soedja Nomor 118.
Para pendiri PPFI adalah Turino Junaidy (NV Gerakan Artis Film Sang Saka), Muhamad Mustari (Fa Titin Sumarni Motion Picture Production), The Teng Hoei (NV Bintang Surabaya Film), Siaw Fon Tong (NV Tenaga Kita Film Ltd), Sjamsudin Safei (Ratu Asia Coy), Umar Arifin (Fa Pahlawan Merdeka), Ho Han Yong (NV Garuda Film Studio Ltd), Chok Chin Hsin (Fa Perusahaan Film Golden Arrow), Liaw Kwan Hin (Fa Olympiad Film Studio), Mashud Pandji Anom (CV Borobudur Film Nasional Coy), Nawi Ismail (NV Usaha Film Corporation), H Djamaludin Malik (NV Persari), Usmar Ismail ( NV Perfini), Joshua Wong (NV Tan & Wong Bros), Mohamad Chatab (Fa Rolleicon Film Studio) dan Oey Tiang Tjay (NV Anom). Semua berkedudukan di Jakarta, kecuali Lie Sioe Seng (NV Palembang Film Corporation) berkedudukan di Palembang.
Sebelumnya Djamaludin Malik dan Usmar Ismail telah mengambil langkah dengan mendeklrasikan berdirinya Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) pada 6 Agustus 1954. Keinginan untuk mendirikan PPFI lahir dari situasi gawat sejak tahun 1952. Di mana film impor mendominasi pemutaran film di bioskop-bioskop, terutama film India, Melayu dan Philipina.
Dengan demikian PPFI lahir sebagai wadah perjuangan insan perfilman. Dalam hal ini para produser film ketika itu. Perjuangan PPFI bersama insan perfilman lainnya ketika itu berhasil memperjuangkan pengurangan dominasi film impor. Sehingga memberikan ruang yang lebih besar terhadap film produksi Nasional. Disamping itu, PPFI juga membantu penyelenggaraan berbagai festival film di dalam dan luar negeri.
Melalui SK Menteri Penerangan RI No.1148/KEP/MENPEN/1976 tanggal 24 Agustus 1976, tentang Pengukuhan Organisasi Perfilman Sebagai Organisasi Profesi, PPFI dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi yang mempunyai usaha di bidang Produksi Film Nasional. Disamping organisasi profesi lainnya, yakni PARFI (Persatuan Artis Film Indonesia), KFT (Ikatan Karyawan Film dan Televisi Indonesia), GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia), GASFI (Gabungan Studio Film Indonesia), dan GASI (Gabungan Subtitling Indonesia).
Setelah dikukuhkan sebagai satu-satunya organisasi profesi di bidang produksi film Nasional oleh Menteri Penerangan, Mashuri, setiap pengurusan izin produksi film ke DepartemenPenerangan wajib dilengkapi surat rekomendasi dari PPFI. Dalam kondisi tersebut PPFI berkembang menjadi organisasi yang "berkuasa". Semua perusahaan wajib menjadi anggota PPFI dengan segala kewajiban yang mengikutinya, Sehingga PPFI memiliki dana yang relatif besar untuk menjalankan roda organisasi.
Pada waktu itu, berkembang berbagai aturan yang ditetapkan Pemerintah seperti wajib putar film nasional yang diatur oleh PT. Peredaran Film Nasional (PERFIN). Ketetapan tersebut dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 Kep/MENPEN 1975; No. 88A TAHUN 1975; dan No. 096aIU/1975 tanggal 20 Mei 1975. Surat Keputusan Bersama ini menekankan tentang Wajib Edar dan Wajib Putar Film Nasional serta Penertiban Reklame Film, yang kemudian terkenal dengan sebutan SKB Tiga Menteri. Dengan SKB Tiga Menteri, PT Perfin melakukan penjadualan terhadap film Nasional. Pada awalnya, penataan peredaran film yang di lakukan PT Perfin memberikan harapan kepada PPFI. Namun kemudian, penataan yang dilakukan PT Perfin tidak berhasil untuk memperlancar peredaran film nasional. Sebaliknya, pada awal dekade 80-an terjadi penumpukan puluhan, bahkan ratusan film nasional yang menunggu giliran beredar.
Kondisi yang tidak sehat ini gagal diatasi. Sehingga PT Perfin menjadi beban terhadap perfilman nasional tanpa memberikan kontribusi yang produktif. Penumpukan film nasional yang tidak berhasil diedarkan sangat memukul kegiatan usaha para anggota PPFI. Walaupun sering disebutkan bahwa "film merupakan karya kreatif", tetapi yang menanggung resiko keuangan adalah anggota PPFI. Hal ini jelas benar pengaruhnya terhadap PPFI sebagai organisasi yang wajib memperjuangkan kepentingan para anggotanya.
Sejalan dengan reformasi politik, berbagai peraturan dan ketentuan yang mngekang perfilman secara berangsur-angsur mulai dikurangi. Tidak ada lagi izin produksi film, sehingga PPFI tidak lagi memungut dana rekomendasi dari anggotanya. Oleh karena itu, pengurus PPFI harus lebih kreatif untuk mencari dana untuk kepentingan jalannya organisasi.
Sejak tahun 2006 PPFI oleh Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) ditunjuk menjadi pelaksana resmi seleksi Oscar Indonesia . PPFI membentuk The Indonesian Oscar Selections Committee yg terdiri dari para profesional di bidang perfilman.
Sejauh ini, PPFI tetap bisa berjalan dan melakukan berbagai kegiatan dalam menunjang dan turut mengembangkan iklim produksi yang lebih baik. Jadi, walaupun tidak lagi memiliki "kekuasaan" setelah reformasi, tetapi PPFI tidak menjadi organisasi yang "gamang". Tidak merasa kehilangan pamor, karena PPFI memang tidak pernah tumbuh sebagai birokrat atau "penguasa".
Ketika didirikan PPFI didukung oleh 16 perusahaan film. Jumlah anggota tersebut berkembang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022 ini anggota tercatat sebanyak 58 perusahaan aktif.
Saat usia ke-66 di tahun 2022, PPFI dipimpin H.Deddy Mizwar sebagai Ketua Umumnya. Catatan ini dari Sekjen, H.Zairin Zain seperti diposting Produser&Sutradara Adisurya Abdy di wa grup DemiFilm Indonesia (DFI).
Happy Birthday.....!
Comments ( 0 )