Ini Negara Saya

Ini Negara Saya
Ini Negara Saya

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi

Direktur Dehills Institute

 

Ada suara yang tak bisa diabaikan ketika ia datang dari kedalaman usia, dari ujung perjalanan seorang manusia yang telah menyaksikan zaman berubah, bangsa bertumbuh, dan dunia berpaling. Suara itu datang dari seorang lelaki yang kini berusia satu abad—Dr. Mahathir Mohamad. Seorang negarawan. Seorang saksi. Dan di atas segalanya, seorang pecinta tanah air yang tak pernah lelah mencintai.

Dalam pernyataannya pada 19 Juli 2025, di hari ulang tahunnya ke 100, ia tak berbicara tentang kejayaan masa lalu, bukan pula tentang keletihan usia, melainkan tentang kecintaan abadi pada tanah kelahiran. Ia berkata dengan jujur dan sederhana:

“Ini negara saya. Saya dilahirkan di sini. Saya membesar di sini. Pahit maung dan suka duka pun di sini.”

Kata-kata yang barangkali mudah diucap oleh siapa pun. Tapi ketika diucapkan oleh seorang yang telah melewati satu abad kehidupan, maknanya berubah menjadi pesan suci: sebuah peringatan, sekaligus wasiat.

Di usia 100 tahun, kebanyakan orang memilih diam, duduk dalam sunyi, menunggu senja menjemput. Tapi Mahathir tidak. Ia tidak berdiam di kursi nostalgia. Ia tidak menyesali waktu yang pergi. Sebaliknya, ia masih berdiri, masih berbicara, masih bersumpah untuk menyumbangkan tenaga dan akal fikiran bagi bangsa.

Karena cinta tanah air tidak mengenal usia. Ia bukan peran sementara. Ia adalah napas panjang yang hanya berhenti ketika nyawa tak lagi di badan.

“Saya sedar saya sudah tua. Tetapi rasa sayang kepada negara tidak pernah luntur.”

Inilah definisi patriotisme dalam bentuk paling murni—cinta yang tidak menuntut balasan, tidak mencari panggung, tidak mempersoalkan usia, jabatan, atau popularitas. Sebab cinta semacam ini bukan ilusi, tapi pilihan sadar yang terus diperbarui oleh tanggung jawab moral.

Negara Bukan Milik Penguasa, Tapi Jiwa yang Menjaganya

Ketika Mahathir berkata, “Jika tidak, akan hilanglah negara saya,” itu bukan sekadar kekhawatiran. Itu adalah analisa sejarah. Banyak bangsa di dunia runtuh bukan karena perang, tapi karena lupa.

Lupa menjaga.

Lupa bersatu.

Lupa berterima kasih kepada para pendiri dan penjaganya.

Lupa bahwa negara adalah warisan yang tidak bisa diwariskan tanpa kesadaran.

Negara bukan milik mereka yang hanya duduk di kursi kekuasaan, melainkan milik setiap jiwa yang bersedia memelihara, melindungi, dan merawatnya.

“Selepas saya pergi, merekalah yang akan take over.”

Pernyataan ini bukan keluhan, melainkan kepercayaan. Ia menyerahkan masa depan bangsa kepada generasi muda—dengan harapan, bukan dengan rasa putus asa. Ia tidak menyalahkan generasi baru, tetapi ingin menyatu bersama mereka, membimbing dengan pengalaman, mendampingi dengan cinta.

Tidak semua yang hidup lama bisa berkata seperti Mahathir. Dan tidak semua yang masih muda mampu mendengarnya dengan hati yang jernih.Karena dalam setiap kalimatnya, ada satu pesan utama:

Negara adalah bagian dari diriku. Dan aku tidak akan membiarkannya hilang.

Maka jika hari ini ada yang menertawakan perjuangan, mencibir nasionalisme, atau menganggap patriotisme hanyalah romantika masa lalu—tunjukkanlah sosok ini. Sosok yang telah menua bersama bangsanya, tapi tidak pernah menua dalam cintanya.

Semoga ketika kita sendiri tiba di usia senja, kita pun bisa berkata dengan kepala tegak dan hati penuh bangga:

“Ini negara saya. Dan saya telah menjaganya.”

Dan sebagai do’a penutup saya memanjatkan kepada Allah SWT, agar pemimpin kita dianugrahi usia panjang dalam kebaikan terutama untuk Ayahanda SBY, Pak prabowo. Bangsa dan Negeri ini masih membutuhkan bimbingan dan haluan sampai 100 tahun usia kemerdekaan kita. Allahumma Amin Ya Rabbal Alamien.