"Invisible Dance" Sajikan Perspektif Alternatif Praktik Tari Kontemporer dalam Tujuh Karya Seniman Indonesia dan Ind

"Invisible Dance" Sajikan Perspektif Alternatif Praktik Tari  Kontemporer dalam Tujuh Karya Seniman Indonesia dan Ind

KABARINDO, JAKARTA - Sebanyak tujuh karya ciptaan seniman serta kolektif seni asal Indonesia dan  India telah lahir dalam proyek koreografi “Invisible Dance”.

Proyek ini mengkaji  aneka pertanyaan dan sudut pandang alternatif terkait praktik-praktik tari 
kontemporer. Video ketujuh karya ini telah dirilis dan dapat ditonton di kanal  YouTube Goethe-Institut Indonesien.

Berangkat dari gagasan "tidak kasatmata" yang diangkat dalam “teater tidak  kasatmata“ dan koreografi sosial Augusto Boal, Goethe-Institut memprakarsai  suatu laboratorium seni berbasis proses untuk seni performatif di India dan 
Indonesia.

Setelah pertemuan perdana di Tanzplattform pada Maret 2022 di Berlin, Garasi  Performance Institute dari Indonesia dan koreografer India Mandeep Raikhy  bersama-sama mengembangkan “Invisible Dance” sebagai platform bagi  seniman untuk mengeksplorasi hubungan antara ruang sosial dan tari dengan  berbagai macam cara.

Tujuh seniman dan kolektif seni dengan gagasan riset berbasis konteks yang  spesifik dari berbagai ruang rural atau desentral di Indonesia dan India 
diundang untuk bergabung dengan platform ini. Dari Indonesia, ada Lembâna  Artgroecosystem; Komunitas KAHE; serta Enji Sekar. Adapun dari India adalah Abhijeet/Moodzi & Srilakshmi; Lapdiang A. Syiem; Rituparna Pal; serta Gram Art 
Project Collective.

Observasi pesta hingga pengalaman indrawi
Dalam karya berjudul Dikideng: Goyang Ragam Kultur Pesta di Maumere, 

Komunitas KAHE mengkaji festival dan perayaan masyarakat Maumere, Flores,  sebagai koreografi sosial. 

“Karya ini bertujuan untuk mengamati pesta sebagai koreografi sosial atau  dramaturgi dari sudut pandang tiga subjek yang sangat penting bagi pesta dan  budaya pesta yang ada di Maumere: mama-mama yang menyiapkan hidangan,  ana kolong (hadirin tanpa undangan), dan opreter (orang yang ditunjuk sebagai 
penanggung jawab lagu sepanjang pesta),” ucap Kartika Solapung dari Komunitas KAHE.

Hasil pengamatan terhadap cerita, interaksi, dan gerak mama-mama, ana  kolong, dan opreter dijadikan pijakan bagi Komunitas KAHE membuat satu tari  yang familiar dengan sebutan goyang ragam. Dengan pendekatan penciptaan  bersama, mereka mengkodifikasi gerak-gerak para aktor pesta serta mengomposisinya dalam satu struktur dan kemudian mencobakan tari tersebut kepada beberapa pelajar SMA.

Sementara itu, karya film dokumenter pendek dan buku panduan bertajuk 24  Jam di Lembâna oleh Lembâna Artgroecosystem merupakan upaya pemetaan  dimensi spasial dan temporal spesifik di tempat asal mereka di Sumenep, Jawa 
Timur. 

Fikril Akbar dari Lembâna Artgroecosystem menyampaikan, “24 Jam di  Lembâna penting bukan saja karena hendak melihat koreografi sebagai  kerangka untuk melihat aspek-aspek geokultural Lembâna, tetapi juga sebagai 
moda riset untuk mempelajari, mendalami, dan memetakan pengetahuan  mengenai kualitas keruangan Lembâna, berikut nilai yang beroperasi di dalamnya”.

Karya lain asal Indonesia dalam proyek ini berjudul Interkoneksi: Koreografi  Sensorium dan Gerak Sehari-hari yang diciptakan Enji Sekar dan sejumlah  kolaboratornya yang berlatar belakang atau memiliki pengalaman dengan seni  performans. Karya ini berfokus kepada pengamatan koreografis terkait empat 
indra, yaitu indra pendengar, perasa, peraba, dan pencium, di pasar Demangan  dan Pathuk di Yogyakarta.

“Kami memilih dua pasar tradisional berukuran sedang sebagai laboratorium kami dengan asumsi bahwa tempat tersebut adalah ruang yang muncul dari  keragaman di mana pengalaman multisensori seharusnya diproduksi. Para 
kolaborator diminta menjelajahi pasar dengan dipandu oleh pengalaman  indrawi mereka dan kami mendorong mereka mencatat secara detail sambil  terus mengidentifikasi apa yang mereka terima melalui indera mereka,” jelas  Enji.

Selain dalam bentuk film dokumenter, temuan kelompok ini juga disajikan  dalam wujud lapisan-lapisan peta. Peta kedua pasar dikombinasikan dengan  berbagai peta indrawi berbeda sehingga menghasilkan visibilitas baru bagi  orang dan barang yang tidak kasatmata.

 

Empat karya dari India Dari India, proyek Abhijeet/Moodzi dan Srilakshmi yang dinamakan Social  Dance Experiments in Ahmedabad dilakukan di berbagai tempat di Ahmedabad 
dan ruang-ruang publiknya. Mereka melibatkan diri dengan beragam sektor  masyarakat dan menyaksikan bagaimana eksperimen seperti ini dapat  menanggapi konteks sosial-politik yang ada.

Karya Lapdiang A. Syiem dengan judul Laitïam merupakan eksplorasi terhadap  narasi rakyat Khasi “U Sier Lapalang”, sebuah cerita mengenai seekor rusa  jantan dari dataran yang kini kita kenal sebagai Bangladesh yang naik ke  Perbukitan Khasi, tetapi malah ditangkap dan dibunuh oleh pemburu. Induknya  menyusul untuk mencari putranya dan menemukan jasadnya. Ratapan sang  induk konon merupakan bunyi yang mengajari masyarakat Khasi cara berduka 
dan berkabung.

Rituparna Pal dari Chennai menghadirkan karya Class Notes of a Savarna  Dancer. Bharatanatyam memiliki sejarah pengambilalihan yang kejam dan 
berbasis kasta yang jarang mendapat tempat dalam catatan sejarah institusional. Pada awal abad ke-20, para praktisi tarian turun-temurun ini 
dikriminalisasi karena profesi dan panggung mereka diambil alih penari berkasta istimewa atas nama "kebangkitan" bentuk seni tersebut. Rituparna hendak mengangkat sejarah ini melalui karyanya dan menciptakan praktik  Bharatanatyam yang anti-kasta.

Gram Art Project Collective—sekelompok perempuan yang tinggal di lingkungan  pedesaan dan dapat dikatakan sebagai perempuan India kebanyakan—menciptakan sebuah performans durasional berjudul Cotton Stainers yang 
meliputi berbagai cara berbeda untuk berbagi kenangan, harapan, impian, rahasia, dan beban mereka.