Jangan Sampai Hanya Menyapu Taman Surga

Jangan Sampai Hanya Menyapu Taman Surga

Oleh: ZA Zen

Gaza telah berubah menjadi kuburan anak-anak. Rumah sakit, masjid, sekolah, dan tenda pengungsian dibombardir tanpa henti. Semua itu masih terbayang-bayang dalam penglihatan, tersimpan abadi dalam memori yang memporak-porandakan jiwa. Dunia melihat. Dunia tahu. Tapi dunia bungkam. Seolah tak ada apa-apa. Padahal yang terjadi di sana bukan lagi perang. Ini adalah genosida terang-terangan yang dipertontonkan setiap hari di layar-layar kita.

Sementara itu, media arus utama pun kehilangan keberanian. Tayangan berita didominasi isu-isu sepele. Tidak terlihat kepedulian yang tulus, tidak terdengar keberpihakan yang jernih. Yang lebih menyedihkan, kaum cendekia dan seniman pun banyak yang memilih bungkam. Mereka yang biasanya lantang berbicara atas nama kemanusiaan kini larut dalam hiburan, proyek, dan popularitas semu.

Padahal, seni sejatinya lahir untuk membela yang lemah, menyuarakan yang tak bersuara, dan menggugah kesadaran kolektif. Bukankah para penyair, pelukis, musisi, dan sutradara adalah mereka yang dipercaya zaman untuk menjadi penjaga nurani peradaban? Lalu, mengapa hanya syair-syair manja yang Anda dendangkan, sementara dunia sedang menangis?

Gaza bukan hanya soal Palestina. Gaza adalah simbol kejatuhan moral dunia. Anak-anak dibantai, rumah-rumah dihancurkan, dan rumah sakit dijadikan medan pembantaian. Di mana suara kita?

Peraih Nobel Perdamaian asal Irlandia, Mairead Maguire, pernah berkata, "Silence is complicity." Diam adalah bentuk keterlibatan dalam kejahatan. “Injustice anywhere is a threat to justice everywhere.” Martin Luther King Jr. “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.” Steve Biko “Selama kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia belum dicabut dari muka bumi, maka selama itu perjuangan kita belum selesai!” Soekarno

Dan kini, diam bukan lagi emas. Diam adalah pengkhianatan terhadap nurani.

Dalam sejarah, justru senimanlah yang kerap menyalakan api perubahan. Mereka tidak menunggu izin dari kekuasaan. Mereka hanya mendengar bisikan dari langit dan jeritan dari bumi.

Kini, dua negara besar di Asia Selatan, India dan Pakistan, diprovokasi, kembali memanas di perbatasan. Kendati keduanya telah menyatakan tidak menginginkan eskalasi dan bahkan menyepakati gencatan senjata, sejarah panjang konflik yang diwariskan sejak pecahnya kolonialisme Inggris pada 1947 terus menjadi bara yang mudah disulut. Iran bahkan turun tangan meredakan ketegangan, mengutus diplomat dengan pesan tegas: jangan tertipu oleh bisikan manis para penjahat global yang justru menginginkan kehancuran negara kalian dan penderitaan rakyat kalian. Setiap peluru yang kalian lepaskan sejatinya adalah pengalihan perhatian dunia dari tragedi besar di Palestina, sekaligus menjauhkan umat manusia dari kesadaran akan penjajahan serta penderitaan yang belum usai.

Inilah bukti bahwa kekuatan kawasan pun, dengan segala kebijaksanaannya, tidak menghendaki kobaran perang, melainkan mendorong persatuan demi keadilan yang lebih besar. Namun kita tidak boleh naif. Sangat mungkin ada kekuatan global yang memainkan peran gelap di balik layar. Zionisme, misalnya, tidak hanya menjajah tanah, tetapi juga menjajah kesadaran. Mereka menyusup melalui kekuatan modal, mengadu negara dengan negara, membiayai konflik demi keuntungan semata. Fee besar yang memabukkan itu berasal dari markup harga senjata yang fantastis, bahkan hingga seratus kali lipat dari biaya produksinya yang sesungguhnya jauh lebih murah, serta memainkan bantuan dari uang pajak masyarakat. Inilah candu uang haram yang mampu meluluhlantakkan ideologi dan menggugurkan tanggung jawab kemanusiaan para pemimpin dunia oleh sebagian pemimpin yang berkhianat dari sumpah jabatannya, dari perilaku keji yang tidak diinginkan masyarakatnya, bahkan oleh keluarga dan anak cucu mereka sendiri. Sampai tidak peduli dengan demonstrasi di kota-kota besar di seluruh dunia hingga teguran peringatan Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sungguh, mabuk fee menjijikkan menghancurkan peradaban.

Dalam skenario mereka, perang antara India dan Pakistan bukan sekadar soal politik atau ekonomi. Ia adalah strategi pengalihan, menjauhkan fokus dunia dari tragedi kemanusiaan terbesar yang sedang berlangsung di Palestina, serta wilayah-wilayah lain seperti Suriah. Zionisme telah lama membajak agenda kemanusiaan. Mereka terus bekerja, mengancam, memprovokasi, mengadu domba setiap kelompok masyarakat dan negara. Mereka memanipulasi persepsi lewat propaganda, mengukuhkan citra palsu melalui media, dan menumpulkan rasa keadilan global. Kemenangan mereka adalah ketika dunia terpecah belah, dan Palestina tinggal menjadi catatan kaki dalam sejarah umat manusia.

Ini bukan soal siapa kita. Tapi soal: masihkah kita punya hati?

Jika Bapak atau Ibu seorang perwira, jenderal, menteri, profesor, budayawan, agamawan, pengusaha, atau rakyat biasa, jangan pernah merasa bebas dari tanggung jawab kemanusiaan. Bahkan jika Anda bukan siapa-siapa, Anda tetap bisa menyebarkan informasi, mengenakan simbol solidaritas, berdiri di jalan membawa poster, atau berdoa dengan sepenuh hati.

Mengapa harus bersuara? Karena Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim) Dan Allah berfirman: “Barang siapa membunuh satu jiwa, bukan karena membunuh orang lain atau membuat kerusakan di bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 32)

Kita tidak tahu berapa lama sisa waktu kita hidup di dunia ini. Jangan sampai kelak kita hanya ditugaskan sebagai penyapu taman surga, sementara para pejuang kemanusiaan duduk terhormat bersama para nabi dan syuhada. Padahal di dunia ini, kita punya segalanya: kekuasaan, keahlian, panggung, pengaruh, bahkan kesempatan sekecil jari telunjuk untuk menyuarakan kebenaran. Tapi kita sia-siakan semuanya.

Karena setiap luka di bumi Palestina, sejatinya adalah ujian atas keimanan dan kemanusiaan kita.

Penutup:

Seni sejati adalah suara hati yang menggetarkan nurani dan menyulut api keadilan di tengah pekatnya keheningan dunia. Ia adalah tanggung jawab suci untuk berdiri bersama yang tertindas, memberi suara pada yang tak bersuara, dan menggugah kesadaran kolektif manusia.

Di saat dunia membisu menyaksikan derita Palestina, memilih diam bukanlah kebijaksanaan, melainkan luka yang terus berdarah dalam jiwa kemanusiaan kita. Jangan sampai kelak, ketika hidup ini usai, kita hanya dikenang sebagai penyapu taman surga, sementara jiwa-jiwa yang menderita menunggu suara kita yang tak pernah datang.

Kesempatan untuk bersuara bukan hanya anugerah, tapi amanah yang mengikat jiwa dan raga. Mari kita sambut panggilan itu dengan keberanian, kasih sayang, dan ketulusan tanpa batas.

Dan bila masih ada keraguan dalam sunyi jiwa kita, mari kita bangkit dari diam menjadi lentera yang tak pernah padam, mengusir pekat dengan cahaya, menjadi saksi dan penjaga kemanusiaan sebab seni hidup sejati adalah jiwa yang tak pernah rela berdiam.


---

Profil Penulis:

ZA Zen
Seniman dan Pemerhati Seni Budaya (Alumni Teater Populer angkatan 1986)
Telah menyutradarai berbagai film dokumenter, filler televisi, dan pertunjukan eksperimental. Tengah menyiapkan beberapa produknya untuk menginspirasi para penikmat dan pemerhati kesehatan, fashion, dan peradaban agunng.