Kepemimpinan dan Kebodohan
Oleh : Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute
Kepemimpinan adalah tanggung jawab agung, sebuah amanah yang jika diemban oleh tangan-tangan yang tak layak, ia tak hanya melukai dirinya sendiri tetapi juga menjerumuskan umat ke dalam kebinasaan. Sayyid Husein Fadlullah, seorang ulama besar dari Syiria yang dikenal sebagai salah satu pemikir utama di balik kelahiran Hizbullah, dengan tegas mengingatkan:
“Jangan beri kesempatan orang bodoh menguasai masyarakat. Ketika komunitas dikendalikan oleh orang-orang bodoh, maka masyarakat bersiap-siap menuju kehancuran.”
Pernyataan ini lahir dari pengamatan mendalam terhadap sejarah dan realitas sosial-politik. Sayyid Husein Fadlullah bukan hanya seorang ulama, tetapi juga seorang intelektual, humanis, dan pembela hak-hak rakyat tertindas. Beliau menyuarakan keadilan dan resistensi terhadap tirani, terutama dalam konteks perlawanan terhadap penjajahan dan penindasan di Palestina dan Lebanon. Melalui pandangan ini, kita memahami bahwa kepemimpinan yang buruk adalah akar dari kehancuran sosial, spiritual, dan politik sebuah masyarakat.
Kekayaan, Kekuasaan, dan Ujian dalam Islam
Kekayaan sering kali menjadi gerbang menuju kekuasaan, tetapi Islam memandangnya sebagai ujian besar. Allah SWT berfirman:
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau, perhiasan, dan saling berbangga di antara kamu serta berlomba dalam kekayaan dan anak keturunan…”
(QS. Al-Hadid: 20).
Ayat ini mengingatkan bahwa kekayaan bukanlah tujuan, melainkan alat yang harus digunakan dengan bijak. Ketika kekayaan jatuh ke tangan mereka yang tidak memiliki pemahaman dan kebijaksanaan, ia bisa menjadi alat untuk menindas, merusak tatanan sosial, dan menghalangi keadilan. Dalam hadis, Rasulullah ﷺ juga memperingatkan:
“Tidaklah dua serigala lapar dilepas di tengah kawanan kambing lebih berbahaya daripada ambisi seseorang terhadap harta dan kekuasaan dalam merusak agamanya.”
(HR. Tirmidzi).
Ambisi yang tak terkendali sering kali membawa kehancuran, baik bagi pemimpin maupun masyarakat yang dipimpinnya.
Kepemimpinan: Amanah dan Bukan Hak
Lexi Budiman, pendiri Dehills Group, dengan tajam menyatakan bahwa mengejar kekuasaan tanpa kemampuan adalah kejahatan, dan bahkan sekadar menginginkannya adalah bentuk kedzaliman. Pernyataan ini sejalan dengan prinsip Islam bahwa kepemimpinan adalah amanah, bukan hak. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya kepemimpinan adalah amanah, dan pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajibannya dengan benar.”
(HR. Muslim).
Kekuasaan adalah pisau bermata dua. Di tangan yang benar, ia menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan. Namun, di tangan yang salah, ia melukai semua pihak—baik pemimpin itu sendiri maupun masyarakat yang dipimpinnya. Dalam konteks ini, memberi kekuasaan kepada yang tidak paham ibarat membiarkan anak kecil bermain dengan pisau tajam, sebagaimana diilustrasikan dalam tulisan ini.
Peringatan dari Sayyid Husein Fadlullah
Sayyid Husein Fadlullah adalah sosok ulama yang menyatukan pemikiran keislaman dengan praksis sosial. Beliau menekankan pentingnya kecakapan intelektual dan spiritual dalam kepemimpinan, karena menurutnya, masyarakat yang dikendalikan oleh orang bodoh akan kehilangan arah, moralitas, dan visi. Dalam karyanya, ia sering mengutip Alquran sebagai dasar peringatan. Salah satu ayat yang relevan adalah:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…”
(QS. An-Nisa: 5).
Ayat ini tidak hanya berbicara tentang harta, tetapi juga tentang tanggung jawab. Menyerahkan urusan penting, termasuk kepemimpinan, kepada yang tidak cakap adalah bentuk kedzaliman terhadap masyarakat.
Mencegah Kebodohan Merajalela
Mencegah orang bodoh memimpin bukanlah bentuk diskriminasi, melainkan kasih sayang. Rasulullah ﷺ sendiri pernah menolak permintaan seseorang yang menginginkan jabatan, dengan sabda:
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan jabatan itu adalah amanah yang kelak menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengambilnya dengan hak dan menunaikan kewajibannya dengan benar.”
(HR. Muslim).
Pernyataan ini menunjukkan betapa pentingnya kapasitas dalam memimpin. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang sama, dan tidak semua orang mampu menjalankan amanah kepemimpinan.
Membangun Kepemimpinan yang Bijak
Islam menawarkan solusi untuk menciptakan kepemimpinan yang bijak, yaitu dengan menjadikan takwa, ilmu, dan akhlak sebagai landasan. Doa dalam Alquran menjadi panduan bagi setiap calon pemimpin:
“Ya Tuhan kami, jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”
(QS. Al-Furqan: 74).
Doa ini menunjukkan bahwa kepemimpinan sejati bukanlah tentang kekuasaan, tetapi tentang melayani, memimpin dengan hati, dan membawa umat kepada kebaikan.
Menjaga Masa Depan Umat
Sejarah telah menunjukkan bagaimana masyarakat hancur ketika dipimpin oleh orang-orang bodoh yang hanya mengejar ambisi pribadi. Peringatan Sayyid Husein Fadlullah dan pandangan Lexi Budiman harus menjadi renungan bagi kita semua. Kepemimpinan adalah amanah berat yang harus dipikul oleh mereka yang benar-benar mampu. Menyerahkan kekuasaan kepada yang tidak cakap adalah bentuk kedzaliman, baik terhadap masyarakat maupun terhadap pemimpin itu sendiri.
Mari kita jadikan kebijaksanaan, kecakapan, dan akhlak sebagai landasan utama dalam memilih pemimpin, demi memastikan masa depan umat yang penuh keberkahan.
Comments ( 0 )