Mengeksplor Masa Depan Pendidikan Tinggi di Era AI

Mengeksplor Masa Depan Pendidikan Tinggi di Era AI

Mengeksplor Masa Depan Pendidikan Tinggi di Era AI

Membentuk kembali cara mengajar, belajar dan berinovasi di lingkungan universitas

KABARINDO, SURABAYA - Pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) membentuk kembali cara mengajar, belajar dan berinovasi di lingkungan universitas.

Untuk menggambarkan besarnya perubahan akibat AI, Presiden National University of Singapore (NUS), Profesor Tan Eng Chye, menyinggung terobosan DeepMind dalam pemodelan protein yang berhasil memprediksi lebih dari 200 juta protein hanya dalam satu proses, sesuatu yang secara manual akan membutuhkan “lebih dari satu miliar tahun kerja para lulusan PhD”.

Hal itu dipaparkannya dalam penyelenggaraan NUS Innovation Forum (NIF) edisi Jakarta pada Kamis (4/12/2025). Ia mengupas lebih jauh soal disrupsi teknologi, juga masa depan pembelajaran itu sendiri.

Menurut Prof. Tan, lompatan seperti ini menunjukkan betapa cepat AI dapat mempercepat penemuan ilmiah dan menegaskan perlunya universitas beradaptasi. Di NUS, dalam dua tahun terakhir telah direkrut 134 anggota fakultas, termasuk 27 spesialis AI dan 53 peneliti yang mengintegrasikan AI ke dalam riset mereka.

Prof. Tan mengingatkan bahaya yang lebih senyap di kalangan akademik. Mahasiswa menggunakan AI untuk menghindari proses berpikir, bukan memperdalam keterampilan kognitif. Ia menyebut empat risiko yang harus diantisipasi universitas yaitu cognitive offloading, never-skilling, mis-skilling dan de-skilling,

“Belajar harus tetap menantang. AI tidak bisa menggantikan proses berpikir,” katanya.

Muncul pandangan bersama dari para perwakilan universitas di Indonesia bahwa AI bukan sekadar perkembangan teknologi, tetapi juga perubahan filosofi.

Profesor Lavi Rizki Zuhal dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan tren saat ini menuntut perombakan desain kurikulum. ITB telah melakukan pembaruan besar untuk mempersiapkan mahasiswa bekerja berdampingan dengan sistem cerdas.

“Kita tidak bisa terus mengajar seperti cara kita dulu diajar,” ujarnya. Ia mengakui masih banyak dosen menolak AI, karena merasa kemampuan otaknya tetap memadai. Namun hal itu tidak mengubah fakta bahwa pendidik harus menguasai A, karena mahasiswa sudah menggunakannya.

Dr. Danang Sri Hadmoko dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menekankan pentingnya riset terapan lintas disiplin, terutama pada persinggungan antara perilaku manusia dan teknologi. UGM menggabungkan ilmuwan komputer dengan pakar psikologi, teknik, kedokteran, farmasi dan ilmu sosial untuk memastikan bahwa alat AI kuat secara teknis, juga relevan dan responsif terhadap kebutuhan pemangku kepentingan, serta berakar pada pertimbangan sosial.

Ia juga menyoroti biaya besar riset AI. Biaya komputasi cloud saja dapat melebihi anggaran operasional tahunan beberapa fakultas, dan sangat sedikit universitas di kawasan yang mampu melakukan pemodelan AI skala besar secara mandiri. Karena itu, kolaborasi multi-pihak menjadi keharusan. Ia menegaskan pentingnya infrastruktur superkomputer bersama, klaster riset kolaboratif dan pusat inovasi yang didukung industri.

Profesor Hamdi Muluk dari Universitas Indonesia menambahkan, AI merefleksikan kekuatan manusia maupun kerentanannya. Ia mencontohkan kasus nyata anak muda yang mencari dukungan emosional dari sistem AI, terkadang berujung tragis ketika model berhalusinasi, salah menafsirkan maksud, atau memberi saran yang tidak aman. Pesannya jelas, kehidupan offline tetap penting, begitu pula interaksi langsung.

Menurut Prof. Hamdi, universitas harus berinvestasi pada penguatan ketahanan manusia melalui komunitas kampus, sistem dukungan rekan sebaya, pelayanan masyarakat dan program kesehatan mental.

“Kita harus membekali mahasiswa dengan kebijaksanaan dan kebijaksanaan bukan sesuatu yang bisa diberikan AI,” ujarnya.

Foto: istimewa