Pendamai Konflik, Pembangun Masyarakat Baru

Pendamai Konflik, Pembangun Masyarakat Baru

Oleh: M. Subhan SD

Co-Founder Palmerah Syndicate
    
    Madinah pra-Islam adalah sebuah potret pertarungan ruang kekuasaan yang sengit. Masyarakatnya terbelah (devided society). Secara geo-demografi, penduduknya terkonsentrasi berdasarkan etnik, sehingga bersifat homogen. Implikasinya, secara politik, penduduknya pun terpolarisasi.

Komposisi penduduk Madinah – kala itu bernama Yatsrib, diduga nama pendiri dari bangsa Amaliq – terdiri dari bangsa Arab, terutama klan Aus dan Khazraj; lalu bangsa Yahudi, seperti klan Qainuha, Nadhir, Quraidzah. Konstelasi relasi antara kelompok-kelompok masyarakat itu terjadi kontestasi dan konflik yang sangat akut. Situasi sosial-politiknya sangat kontradiktif dengan Madinah sebagai oase yang subur.


    Kabilah/klan Aus dan Khazraj, adalah imigran dari Yaman yang menetap di Madinah, pasca jebolnya bendungan Ma’rib sekitar abad ke-6. Bendungan itu merupakan peninggalan negeri Saba nan makmur yang diabadikan dalam Al-Quran. Aus dan Khazraj masuk dalam kategori bangsa Arab Al-Aribah, yang leluhurnya berasal dari jalur Bani Qahtan.

Adapun orang-orang Yahudi sudah mendiami Madinah pada awal-awal abad Masehi. Mereka melarikan diri dari negeri Syam (Yerusalem) dikejar orang-orang Romawi penganut Kristen.


    Di Madinah pun mereka terus terancam, karena Romawi terus memburu. Orang-orang Kristen itu lalu membangun aliansi dengan Aus dan Khazraj. Dengan aliansi besar itu, dalam strata sosial, Aus dan Khazraj pun diperhitungkan. Selama ini mereka sering diejek karena penyembah berhala (pagan) oleh Yahudi.  

Yahudi yang merasa sebagai “kelas umat pilihan” justru termarginalkan, seteah ada aliansi tersebut. Sebuah situasi yang menjadi pukulan telak bagi Yahudi. Mulailah Yahudi menyusun strategi. Mereka menyadari tidak mungkin sendirian menghadapi aliansi Romawi/Kristen-Aus-Khazraj. Membangun sekutu dengan kekuatan lain, juga tidak memungkinkan. Maka, mereka mulai bersiasat. Trik mereka adalah memecah kekuatan aliansi tersebut. Mulailah provokasi dan agitasi: mengadu domba  Aus dan Khazraj. 


    Propaganda Yahudi berhasil. Aus dan Khazraj terprovokasi. Terjadilah persaingan di antar dua kabilah, yang terus tereskalasi menjadi konflik berkepanjangan dan akut. Mereka terlibat perang berulang kali. Salah satunya Perang Bu’ath sekitar tahun 617.  Aus dan Khazraj saling menyerang, membakar perkampungan, membunuh lawannya. Pada pertempuran itu, bahkan para pimpinan dari kedua kubu banyak yang terbunuh. Kata pepatah, “menang jadi arang, kalah jadi abu”. Semuanya menderita.


    Sementara di Mekkah, berjarak sekitar 430 kilometer dari Madinah, Nabi Muhammad  tengah gencar melakukan dakwah, memperkenalkan Islam, mengagungkan keesaan Allah, menyeru kepada kebaikan. Situasinya juga sangat tidak mengenakkan karena dicibir, dilecehkan, ditolak, diancam oleh Quraisy. Ketika musim ziarah ke Ka’bah tiba, nabi proaktif menemui rombongan para peziarah. Ia mendatangi kemah para penyembah berhala itu. Berdialog dengan semua kelompok/kabilah peziarah. Satu persatu didatangi, diajak bicara, dan disampaikanlah Islam dengan intinya soal tauhid. 


     Saat menemui orang-orang Aus dan Khazraj, penduduk Madinah itu merasa de javu karena sebetulnya mereka telah mendengar dari orang Yahudi bahwa akan datang seorang nabi utusan Tuhan. Bertahun-tahun orang Yahudi telah mencela dan menakut-nakuti para tetangganya dengan kisah-kisah datangnya seorang nabi yang akan menghancurkan mereka seperti bangsa-bangsa kuno sebelumnya (Karen Armstrong, Muhamamad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis, 2004). Inikah nabi yang dibicarakan orang Yahudi? Kira-kira begitulah yang ada di benak mereka. Mereka mulai tertarik. 


    Tahun berikutnya orang-orang Madinah itu kembali berziarah. Sudah ada hasrat untuk menyembah Tuhan yang esa (monoteis). Dengan begitu, kedudukan orang Aus dan Khazraj akan sejajar dengan Yahudi dalam soal spiritualisme. Ada 12 orang Madinah yang bertemu nabi. Mereka pun membuat ikrar yang disebut Ikrar Aqaba pertama pada tahun 621. Mereka berikrar untuk tidak menyekutukan Tuhan, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak, tidak mengumpat dan memfitnah (Muhammad Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, 1984). Setelah itu, makin banyak penduduk Madinah yang beriman. 


    Setahun kemudian pada musim ziarah haji, berduyun-duyun penduduk Madinah pergi ke Mekkah. Jumlahnya diperkirakan 75 orang. Mereka kembali bertemu nabi. Di tempat sama, dilakukan kembali Ikrar Aqaba untuk kedua kalinya. Kali ini bukan sekadar ikrar, tetapi kesepakatan membangun pakta aliansi yang lebih kuat dan konkret. Sebagai pemimpin, Nabi Muhammad telah memutus kebencian dan konflik yang membatu antara dua klan penduduk Madinah itu. Berdiri di antara dua kelompok yang berseberangan itu, sebagai pemimpin yang adil, nabi tidak ingin berada di satu sisi. Nabi ingin merangkul semuanya. 


     Cara nabi memberi solusi sebetulnya bisa menjadi model bagi penyelesaian problem masyarakat (bangsa) hari ini. Kita akui dalam 10 tahun terakhir, masyarakat Indonesia benar-benar terpolarisasi. Kita dapat memulai sejak kontestasi pemilihan presiden 2014. Sejak itu narasi politik seperti keranjang sampah: penuh caci-maki, hinaan, dan kebencian. Baik di kehidupan nyata maupun media sosial.

Ada pendukung (lovers), ada pembenci (haters). Tambah runyam karena ada pendengung (buzzer). Dan, acapkali dalangnya adalah elite politik. Kontestasi politik digiring ke permainan zero sum game, direduksi menjadi persoalan hidup-mati, hanya ada kalah dan menang (M Subhan SD, Bangsa Mati di Tangan Politikus, 2019). 


     Seusai pesta, ketika panggung sudah sepi, kursi-kursi sudah didapatkan, rasanya tidak ada yang peduli dengan dampak panasnya ajang kontestasi. Tidak ada yang peduli bahwa residu kontestasi masih menempel di kepala masyarakat. Siapa yang akan membersihkan jelaga hitam? Pasca kontestasi, “tukang kompor” beringsut ke belakang. Barangkali sudah tenang karena kekuasaan sudah di tangan.


     Memang sangat jauh bedanya. Nabi adalah pemimpin yang mampu mendamaikan pihak-pihak berkonflik, dan sekaligus memberikan resolusi konflik. Bukan hanya memutus rasa permusuhan tetapi yang lebih penting lagi adalah melebur pihak-pihak berkonflik tersebut. Di atas reruntuhan permusuhan itu, Nabi Muhammad membangun masyarakat baru yang plural dan damai: masyarakat Anshar, sang penolong.

Tidak ada lagi Aus, tidak ada lagi Khazraj. Andai kita tak meneladani pola yang dicontohkan nabi, tidak mustahil lima tahun lagi, saat kontestasi digelar, konflik sama terus berulang. Jangan-jangan, memang disengaja karena trik konflik bisa menjadi pola efektif dalam kontestasi rebutan kekuasaan. Jika demikian, jangan bermimpi menjadi masyarakat Madani yang berperadaban.