Polemik UKT Berpotensi Timbulkan Konflik Sosial
KABARINDO, JAKARRA - Kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) Perguruan Tinggi dan pernyataan Sesditjen Dikti bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier, berpotensi menimbulkan konflik sosial meluas dan menurunkan minat masyarakat dalam menempuh pendidikan tinggi. Minimnya proses dan diseminasi kebijakan nampaknya menjadi salah satu faktor yang memantik eskalasi konflik.
Demikian penilaian Konsultan Resolusi Konflik, Dina Hidayana yang disampaikan kepada Media di Jakarta, Senin (3/6). Menurut Dina, meskipun pada akhirnya demo-demo mahasiswa di berbagai penjuru dan riuhnya komentar-komentar negatif di medsos, dianggap berhasil untuk mendorong pencabutan Permendikbud sementara waktu, namun seyogyanya polemik ini dapat digunakan sebagai momentum dalam meresolusi problematika sistem pendidikan yang lebih mengakar, termasuk perlunya memformulasi link and match antara dunia kampus dan dunia kerja.
Alumnus Magister Resolusi Konflik Universitas Gajah Mada (UGM) ini, mengingatkan, fakta bahwa Indonesia masih tertinggal jauh dalam hal capaian pendidikan dan inovasi bahkan dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara yang baru merdeka setelah Indonesia. “Ini perlu dijadikan cambuk,” tegas Dina yang juga berprofesi dosen ini.
Dina yang juga Ketua Depinas SOKSI ini memaparkan hasil riset, misalnya yang dilakukan OECD dalam mengukur kualitas siswa, berdasar survey PISA 2022 yang dipublikasikan tanggal 5 Desember 2023, telah menempatkan Indonesia di peringkat 68 dari 81 negara yang diteliti. Berdasar Indeks Inovasi Global 2023 yang dilaporkan WIPO, Indonesia rangkinh 61 dari 132 Negara.
Sangat ironis, skor Indonesia pada seluruh indikator masih dibawah rata-rata kelompok negara Asia Timur, Asia Tenggara dan Oseania. Bahkan daya inovasi Indonesia dibawah Vietnam dan Filipina. “ Artinya, bukan hanya masih jauh tertinggal, sistem pendidikan dasar kita pun rupanya belum kompetitif ditengah persaingan global yang semakin sengit,” ujar Dina.
Dibandingkan data PISA 2018, terjadi penurunan (learning loss) signifikan untuk rata-rata tiga pelajaran, yakni: Membaca, Matematika dan Sains. Hasil capaian Membaca dan Matematika disebutkan setara dengan 2003, sementara posisi Skor Sains setara dengan 2006. “Lebih parahnya, temuan tersebut menunjukkan kurang dari 18 persen siswa Indonesia yang mampu memahami pemodelan berfikir sistematis, kritis dan problem solver,” jelas Dina, srikandi asli Soloraya ini.
Selaras dengan Napoleon Bonaparte, Pemimpin revolusioner yang berhasil memodernisasi Perancis melalui perombakan sistem pendidikan, Dina pun melihat pentingnya tiga cabang ilmu, seperti matematika, sejarah dan geografi sebagai dasar kemajuan peradaban. Karenanya perlu lebih banyak warga negara yang menguasai ilmu-ilmu dasar tersebut agar progresivitas kemajuan bangsa dapat diupayakan, khususnya dalam menciptakan teknologi-teknologi baru yang relatif mengatasi kebutuhan dan persoalan masyarakat dengan mengandalkan kekuatan sumber daya nasional yang dimiliki.
Tingkat literasi dan kemampuan berfikir yang rendah akan menciptakan generasi tumpul yang pada akhirnya akan menjadi beban negara. Sekolah atau kuliah, karenanya bukan sekedar meraih ijazah dan sertifikat yang bertumpuk. Lebih dari itu sekolah atau kampus adalah media penempaan daya nalar yang perlu dikuatkan dengan semangat nasionalisme dan pesan tanggung jawab moral atas keberlangsungan regenerasi makhluk hidup beserta seluruh potensi isi bumi.
Dina Hidayana yang juga Ketua Umum IKATANI UNS pun berpandangan bahwa Pendidikan memadai sebagai hak fundamental warga negara yang bersifat nasional. Untuk itu, haruslah dapat diakses oleh seluruh anak bangsa tanpa diskriminatif sebagaimana amanah konstitusi, baik itu termaktub secara lugas dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, maupun secara khusus pada batang tubuh pasal 28 dan 31.
“Sistem dan mekanisme pendidikan kita secara keseluruhan nampaknya perlu dirombak dan dikaji lebih komprehensif melibatkan para pihak, agar ada resolusi yang bersifat fundamental dan lebih bisa diterima mayoritas,” saran Dina.
Sekalipun, konstitusi secara spesifik di pasal 31 ayat 2 menyebutkan kewajiban Pemerintah membiayai pendidikan dasar, bukan berarti serta merta diizinkan mengkapitalisasi pendidikan menengah dan tinggi yang memperdalam kesenjangan. Kampus dipercaya sebagai basis kemajuan IPTEK dan peradaban dalam mengoptimalkan sumber daya manusia untuk melakukan penelitian dan pengembangan (RnD).
Dina menambahkan, alokasi APBN 20 persen untuk pendidikan dapat dijabarkan ke publik secara detil dan transparan, agar dapat diketahui bersama celah-celah kebuntuan, misalnya dalam mengurai problem keuangan yang dialami sekolah atau kampus, jangan sampai alasan klasik kendala finansial berujung pada rendahnya kualitas, urai pendiri DH Institute ini.
Pemerintah Indonesia ke depan, perlu melihat polemik UKT ini sebagai jalan pintas mengurai kompleksitas persoalan dunia pendidikan yang masih carut marut, seperti: sistem dan regulasi, pemerataan pendidikan, mutu sekolah atau kampus, kualitas dan tingkat kesejahteraan guru atau dosen, ataupun perlunya kaji ulang kewajiban-kewajiban admistrasi yang tidak subtantif seperti model pelaporan, jurnal-jurnal kapitalism dan problem terkait lainnya.
Selain itu, Dina Hidayana yang juga dikenal sebagai pakar pertahanan dan pangan ini mempertegas pentingnya Link and match dunia kampus dan dunia kerja yang berbasiskan kearifan lokal dan semangat nasionalisme dalam merespon dinamika global dan peluang kemajuan peradaban.
“Perkembangan dunia yang sangat cepat menuntut ketangkasan kita dalam bertindak, tidak bisa sekedar berfikir linier biasa-biasa saja dalam kondisi VUCA dan BANI, penyesuaian jenis mata pelajaran, fakultas dan kurikulum serta litbang harus sangat progresif dan visioner. Meskipun demikian kebaharuan tidak boleh serta merta meniadakan kesejarahan dan eksistensi sumdanas kita, contohnya potensi kita sebagai negara agraris yang bisa diarahkan kembali sebagai lumbung pangan dunia,” ujar Dina, yang telah menyelesaikan jenjang Doktoral di Universitas Pertahanan RI.
Comments ( 0 )