Thailand Bidik Nol Karbon dengan Pertanian Hidro-Surya Terapung

Thailand Bidik Nol Karbon dengan Pertanian Hidro-Surya Terapung

KABARINDO, UBON RATCHATHANI – Upaya Thailand menuju energi bersih saat mencari netralitas karbon pada tahun 2050 terlihat dari sejumlah besar panel surya yang mengapung di perairan waduk yang berkilauan di timur laut negara kerajaan itu.

Instalasi besar yang meliputi 720.000 meter persegi permukaan air itu adalah sistem hibrida yang mengubah sinar matahari menjadi listrik di siang hari dan menghasilkan tenaga air di malam hari.

Disebut-sebut oleh pihak berwenang sebagai "pertanian hidro-surya terapung terbesar di dunia", proyek bendungan Sirindhorn di provinsi timur laut Ubon Ratchathani adalah yang pertama dari 15 pertanian semacam itu yang direncanakan Thailand untuk dibangun pada tahun 2037.

Sirindhorn, yang mulai beroperasi Oktober lalu, memiliki lebih dari 144.000 sel surya, mencakup area yang sama dengan 70 lapangan sepak bola, dan dapat menghasilkan listrik 45 MW.

"Kami dapat mengklaim bahwa melalui 45MW yang dikombinasikan dengan tenaga air dan sistem manajemen energi untuk tenaga surya dan tenaga air, ini adalah proyek pertama dan terbesar di dunia," kata wakil gubernur Otoritas Pembangkit Listrik Thailand (EGAT) Prasertsak Cherngchawano kepada kantor berita Prancis, Agence France-Presse.

Proyek energi hibrida itu bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dioksida sebesar 47.000 ton per tahun dan untuk mendukung upaya Thailand menghasilkan 30 persen energinya dari energi terbarukan pada tahun 2037, menurut EGAT.

Membutuhkan waktu hampir dua tahun untuk dibangun, Proyek Sirindhorn menghabiskan dana sebesar US$35 juta (Rp501,4 milyar).

Wisata Vs Nelayan

Otoritas setempat juga berharap pembangkit listrik tenaga surya raksasa itu juga akan menarik wisatawan dengan "Nature Walkway" sepanjang 415m. Berbentuk seperti sinar matahari, jalur pejalan kaki itu memberikan pemandangan waduk dan sel surya terapung yang indah.

"Ketika saya mengetahui bahwa bendungan ini memiliki pertanian hidro-solar terbesar di dunia, saya tahu itu layak untuk dilihat dengan mata kepala sendiri," kata turis Duangrat Meesit, 46, kepada AFP.

Akan tetapi, pertanian hidro-solar terapung itu menimbulkan keluhan di antara para nelayan lokal.

"Jumlah ikan yang ditangkap berkurang, jadi pendapatan kami berkurang," kata kepala desa Thongphon Mobmai, 64, kepada AFP. Ia menambahkan, "Tetapi penduduk setempat harus menerima mandat ini untuk pengembangan masyarakat yang dicita-citakan oleh negara."

Namun otoritas pembangkit listrik menegaskan proyek tersebut tidak akan mempengaruhi pertanian, perikanan atau kegiatan masyarakat lainnya.

“Kami hanya menggunakan 0,2 persen hingga 0,3 persen dari luas permukaan bendungan. Masyarakat dapat memanfaatkan lahan untuk pertanian, pemukiman, dan keperluan lainnya,” kata wakil gubernur EGAT Prasertsak.

***(Sumber dan Foto: The Straits Times/AFP)