Jokowi di Dua Persimpangan: Antara Loyalitas Keluarga dan Strategi Politik Bayangan
Dalam panggung politik pasca kepemimpinan nasional, mantan Presiden Joko Widodo tampaknya belum benar-benar turun dari arena. Dua manuver politik yang belakangan mencuat—dukungan terbuka kepada Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dan pergeseran arah Projo ke Partai Gerindra—menggambarkan kompleksitas strategi Jokowi yang tak bisa dibaca secara hitam-putih.
Pertama, dukungan Jokowi terhadap PSI bukan sekadar gestur politik biasa. Ketua umum PSI, Kaesang Pangarep, adalah anak kandung Jokowi. Ketika sang ayah menyatakan akan “kerja keras” untuk PSI, publik membaca ini sebagai bentuk dukungan total, bahkan mungkin sebagai upaya membangun dinasti politik. Dalam konteks ini, Jokowi tampak ingin memastikan bahwa pengaruhnya tetap hidup melalui jalur keluarga.
Namun, di sisi lain, organisasi relawan Projo yang selama dua periode menjadi benteng pendukung Jokowi, justru mengambil langkah mengejutkan. Di bawah kepemimpinan Budi Arie Setiadi, Projo menyatakan dukungan kepada Presiden Prabowo Subianto dan berencana bergabung dengan Partai Gerindra. Bahkan logo Projo yang selama ini menampilkan siluet wajah Jokowi akan diganti.
Langkah Budi Arie ini memicu spekulasi. Sebagian kalangan menilai ini sebagai bentuk pengkhianatan terhadap Jokowi. Apalagi, Budi Arie adalah Menteri Komunikasi dan Informatika di era Jokowi dan dikenal sebagai loyalis. Namun, analisis yang lebih dalam membuka kemungkinan lain: bahwa ini adalah bagian dari strategi Jokowi sendiri.
Analis politik Hendri Satrio menyebut manuver Projo sebagai “settingan Jokowi” untuk menyusupkan pengaruh ke tubuh Gerindra. Jika benar, maka Jokowi sedang memainkan strategi dua kaki: satu di PSI sebagai simbol keluarga dan idealisme, satu di Gerindra sebagai jalur pragmatis untuk tetap relevan dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Strategi ini bukan tanpa risiko. Di satu sisi, Jokowi bisa menjaga pengaruhnya di dua kutub kekuasaan. Di sisi lain, ia berisiko kehilangan kepercayaan publik jika dianggap terlalu oportunis. Apalagi, jika publik menilai bahwa dukungan kepada PSI adalah bentuk nepotisme, sementara manuver Projo adalah permainan politik yang manipulatif.
Namun, Jokowi bukan pemain baru. Ia memahami bahwa dalam politik, loyalitas bisa cair dan strategi harus adaptif. Dengan menempatkan Kaesang di PSI dan Budi Arie di Gerindra, Jokowi bisa mengamankan dua jalur: oposisi dan koalisi. Ini adalah bentuk politik bayangan yang memungkinkan dia tetap menjadi "kingmaker".
Yang menarik, Budi Arie membantah bahwa Projo adalah singkatan dari “Pro-Jokowi”, dan menyebutnya sebagai istilah yang hanya populer di media. Ini bisa dibaca sebagai upaya untuk melepaskan citra Jokowi dari Projo, agar langkah ke Gerindra tidak dianggap sebagai pengkhianatan, melainkan transformasi.
Dalam konteks ini, Jokowi tampak sedang membangun “jaringan politik pasca-kekuasaan”. Ia tidak lagi menjadi presiden, tapi tetap menjadi aktor penting di balik layar. Dengan dua kaki di dua tempat, ia bisa mengatur ritme politik nasional tanpa harus tampil di panggung utama.
Akhirnya, publik harus jeli membaca manuver ini. Apakah Jokowi sedang membangun dinasti, menyusun strategi bayangan, atau sekadar menjaga relevansi? Yang jelas, politik Indonesia pasca-2024 belum sepenuhnya bebas dari bayang-bayang Jokowi. Dan mungkin, itulah yang ia rancang sejak awal.
Comments ( 0 )