Menilik Masa Depan Teknologi dalam Konferensi Digital Discourses

Menilik Masa Depan Teknologi dalam Konferensi Digital Discourses

KABARINDO, JAKARTA - Pesatnya perkembangan teknologi baru di era digital menjadikan fiksi ilmiah tak lagi hanya berada diranah imajinasi atau fiksi, tetapi kini menjadi kenyataan. Berbagai terobosan ilmiah dan teknologi yang hadir saat ini berdampak pada cara manusia hidup di masa depan.

Poin tersebut mengemuka dalam edisi kelima konferensi Digital Discourses yang mengangkat tema Science/Fiction pada 27-28 Oktober 2022. Konferensi virtual yang diselenggarakan Goethe-Institut Indonesien, the Center for Digital Society (CfDS), dan EngageMedia ini menampilkan sembilan sesi dengan sepuluh pembicara—mulai dari peneliti, praktisi, hingga penulis fiksi ilmiah—asal Asia Tenggara dan Eropa.

Dalam pembukaan konferensi, Direktur Regional Goethe-Institut untuk Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr. Stefan Dreyer menyampaikan bahwa menyaksikan banyak terobosan ilmiah dan  teknologi yang awalnya tampak mengejutkan dan tidak masuk akal.

"Banyak dari inovasi ini dulunya  hanyalah buah dari imajinasi seorang penulis, menyenangkan dan baru, tetapi tidak memiliki tempat  dalam kenyataan. Tetapi saat ini, berbagai perkembangan teknologi canggih ini membuka kemungkinan  cara hidup baru serta cara baru berinteraksi satu sama lain," paparnya.

Konferensi Digital Discourses dibuka dengan sesi “Antarmuka Otak-Komputer: Memisahkan Fakta dari Fiksi“ yang menghadirkan Moritz Grosse-Wentrup, Kepala Kelompok Riset Neuroinformatika di  Universitas Wina. Dalam presentasinya, Moritz memaparkan, antarmuka otak-komputer adalah sistem  komunikasi yang tidak bergantung pada jalur output normal otak dari saraf perifer dan otot.

“Keberadaan teknologi antarmuka otak-komputer (brain-computer interface) memungkinkan manusia yang mengalami kerusakan otak untuk berkomunikasi melalui perangkat hanya dengan menggunakan  pikiran,“ kata Moritz.

Contoh kasus yang ia berikan adalah penggunaan teknologi antarmuka otak-komputer bagi penderita  stroke yang mengalami kelumpuhan sebagian atau total. Antarmuka otak-komputer mampu mendeteksi apakah seorang pasien berniat menggerakkan lengannya.

Jika intensi itu terdeteksi dari sinyal otak, maka pasien tersebut dapat menggerakkan lengannya sesuai dengan pikirannya dengan bantuan pengendalian robot. Perkembangan kecerdasan buatan selama satu dekade terakhir menunjukkan revolusi terhadap apa  yang bisa dikerjakan suatu mesin. Moritz menambahkan, pemanfaatan kemajuan ini memungkinkan untuk menjadikan teknologi ini lebih terkomputerisasi.

Perkembangan ini juga menjadi momentum
mengembangkan Brain-AI Interfaces (BAIs), yaitu sistem yang memanfaatkan kekuatan sistem 
kecerdasan buatan modern untuk memungkinkan interaksi manusia-komputer yang alami.
Saat ini, menurutnya sudah ada sistem kecerdasan buatan yang dapat menghasilkan bahasa, teks, dan  ucapan natural. Meski demikian, ia menekankan bahwa pengembangan harus terus digencarkan mengingat masih adanya keterbatasan kemampuan mesin membaca otak manusia.

Masa depan dunia kerja dan pangan Aaron Benanav, sosiolog sekaligus penulis dari Automation and the Future of Work, mempertanyakan  pemikiran bahwa robot akan menggantikan tenaga kerja. Banyak pemikir menyatakan tingkat  pengangguran tinggi di era teknologi dikarenakan pekerjaan-pekerjaan yang sudah tidak lagi relevan. 

Namun, Benanav berpendapat, tingginya tingkat pengangguran bukan dikarenakan banyaknya 
pekerjaan yang hilang, melainkan laju penciptaan lapangan kerja baru yang stagnan.

Ia menepis bahwa otomatisasi dapat meningkatkan produktivitas ekonomi, karena statistik justru  menunjukkan tren penurunan selama 50-60 tahun terakhir. Untuk mengatasi tingginya tingkat  pengangguran, Aaron berpendapat solusinya adalah dengan meredistribusikan pekerjaan kepada 
tenaga kerja yang tersedia.

Pada sesi bertajuk “Masa Depan Pangan“, Wong Kak Ming, ilmuwan periset di Shiok Meats 
menyampaikan bahwa kemajuan teknologi saat ini memungkinkan perusahaan-perusahaan berinovasi menciptakan alternatif dari produksi pangan, yakni dengan menciptakan daging budidaya yang  dikembangkan di laboratorium. Daging budidaya atau juga dikenal sebagai daging berbasis sel, adalah  daging hewan yang dibuat dari mengambil sel punca dari hewan dan menumbuhkannya di luar hewan 
tersebut.

Wong Kak Ming bersama timnya telah mengembangkan daging budidaya dari sel punca kelompok  hewan krustasea, yakni udang, kepiting, dan lobster. Menggunakan teknologi stem punca, mereka telah  menciptakan daging budidaya yang di antaranya telah diolah menjadi siomay, sup lobster gazpacho, crab cake, tom yam, serta keripik lobster.

“Daging budidaya merupakan protein alternatif yang memperkuat rantai pasok daging. Keberadaan  daging budidaya bukan untuk menggantikan bagaimana daging diproduksi, tetapi hanya menawarkan  suatu alternatif. Daging budidaya dapat diproduksi secara lokal dan merupakan inovasi yang dapat  membantu meningkatkan ketahanan pangan,“ ujarnya.

Seluruh video dari sembilan sesi dapat disaksikan melalui kanal YouTube CfDS UGM. Selain itu, seluruh  sesi Digital Discourses juga dapat ditonton kembali di kanal YouTube Goethe-Institut Indonesien dan platform Cinemata.org mulai 4 November 2022.