Perjalanan Panjang Nahdlatul Ulama di Bumi Nusantara

Perjalanan Panjang Nahdlatul Ulama di Bumi Nusantara

KABARINDO, JAKARTA - Tepat pada hari ini, 31 Januari 2022, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 96 tahun dalam hitungan tahun Masehi.

NU didirikan di Surabaya, Jawa Timur, pada 31 Januari 1926 M bertepatan dengan 16 Rajab 1344 Hijriah. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, yaitu 31 Januari dan 16 Rajab.

Melansir situs resmi NU, terdapat sejarah panjang yang dimiliki NU. Sepulang dari tahah suci Mekkah Al Mukarromah, dikarena telah dikuasainya tanah Hijaz oleh kelompok Wahabi yang ingi n membongkar makam Nabi Muhammad, Hadratusyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari bin KH. Asy’ari meminta restu kepada maha gurunya Syaikhona Muhammad Kholil bin Abdul Latief bin Hamim di Bangkalan, Madura dan Habib Haysim bin Umar bin Toha bin Yahya, Pekalongan (Kakek dari Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Yahya).

Melalui salah satu santri Syaikhona Kholil atas perintahnya, KHR. As;ad Syamsul Arifin (Situbondo)  sesampainya di Tebuireng menyerahkan tongkat dan tasbih yang dikenakannya dan mempersilahkan KH Hasyim Asy'ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As'ad.

Bukannya As'ad tidak mau menerimanya untuk Kiai Hasyim Asy'ari, tapi As'ad tidak mau menyentuh tasbih sebagai amanah dari Syaikhona KH Kholil kepada KH Hasyim Asy'ari. Sejarah ini merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama (NU).

Pada akhir tahun 1925, Mbah Kholil (Syaikona Kholil Bangkalan) kembali mengutus santri As'ad untuk mengantarkan untaian tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna ke tempat yang sama dan ditujukan kepada yang sama, yaitu Mbah Hasyim. Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924, santri As'ad diminta oleh Mbah Kholil untuk mengantarkan tongkat ke Tebuireng. Penyerahan tongkat tersebut disertai dengan rangkaian ayat Al-Qur'an Surah Thaha ayat 17-23 yang menceritakan tentang mukjizat Nabi Musa (as).

Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah di sekitar tahun 1924 memprakarsai berdirinya Jam'iyyah yang segera diajukan kepada Kiai Hasyim Asy'ari untuk disetujui. Namun, Kiai Hasyim belum tentu setuju sebelum melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk kepada Allah Ta'ala. Sikap Kiai Hasyim yang arif dan hati-hati dalam menanggapi permintaan Kiai Wahab juga didasari oleh berbagai faktor antara lain, posisi Kiai Hasyim yang saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa).

Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasehat dari para tokoh pergerakan nasional. Peran Kiai Hasyim Asy'ari yang luas secara nasional menjadikan gagasan mendirikan organisasi untuk dikaji secara mendalam.

Hasil istikharah Kiai Hasyim Asy'ari diriwayatkan oleh KH As'ad Syamsul Arifin. Kiai As'ad mengungkapkan bahwa hasil istikharah Kiai Hasyim Asy'ari tidak jatuh ke tangannya untuk mengambil keputusan. Namun, ini diterima oleh KH Kholil Bangkalan yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab. Kiai As'ad yang saat itu menjadi murid Mbah Kholil, bertindak sebagai mediator antara Mbah Kholil dan Mbah Hasyim.

Ada dua instruksi yang harus dilakukan Kiai As'ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanat Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim. Dari proses panjang pembangunan jasmani dan rohani tersebut tergambar bahwa liku-liku lahirnya NU tidak banyak bertumpu pada instrumen formal seperti biasa dalam pembentukan organisasi.

NU lahir atas petunjuk Allah Ta'ala. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tampak tidak mendominasi. Faktor penentunya adalah konfirmasi kepada Allah Ta'ala melalui upaya lahir dan batin. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian perjuangan yang panjang. Karena berdirinya NU merupakan respon terhadap berbagai persoalan agama, penegasan aliran, serta alasan kebangsaan dan sosial-kemasyarakatan.

Dipimpin oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya kiai pesantren tersebut pernah mendirikan organisasi gerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada tahun 1916 dan Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada tahun 1918. Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, pada tahun 1914, juga mendirikan kelompok diskusi yang diberi nama Tashwirul Afkar atau kawah pemikiran candradimuka, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran.

Dengan kata lain, NU merupakan kelanjutan dari komunitas dan organisasi yang telah ada sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Cikal bakal lahirnya NU juga berangkat dari sejarah terbentuknya Komite Hijaz. Masalah keagamaan global yang dihadapi kiai pesantren adalah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh umat Islam di dunia yang dianggap bid'ah.

Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan menolak praktik sekte di wilayahnya. Karena dia hanya ingin menerapkan Wahhabisme sebagai mazhab resmi kerajaan. Rencana kebijakan tersebut kemudian dibawa ke Konferensi Islam Dunia (Muktamar 'Alam Islami) di Mekkah.

Seperti halnya pesantren, sentimen anti mazhab yang cenderung puritan dengan berusaha menekan tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri. Choirul Anam mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI). CCI kemudian menjelma menjadi Central Comite Chilafat (CCC), akan mengirim delegasi ke Konferensi Dunia Islam di Mekah pada tahun 1926.

Sebelumnya, CCC mengadakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab dengan cepat menyampaikan pendapatnya terkait terselenggaranya Kongres Dunia Islam.

Usulan Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Konferensi Islam di Mekah harus mendesak Raja Ibn Sa'ud untuk melindungi kebebasan sekte. Sistem mazhab yang telah berjalan di tanah Hijaz harus dipertahankan dan diberikan kebebasan”. Kiai Wahab melakukan beberapa pendekatan kepada tokoh CCC, yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, serta Ahmad Soorkatti.

Namun, diplomasi Kiai Wahab mengenai risalah yang coba ia sampaikan kepada Raja Ibnu Saud selalu berakhir dengan kekecewaan karena sikap kelompok modernis yang tidak kooperatif. Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya mengambil langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan nama Panitia Hijaz pada Januari 1926.

Pembentukan Panitia Hijaz yang akan dikirim ke Kongres Dunia Islam atas restu KH Hasyim Asy'ari. Perhitungan dilakukan dan izin dari KH Hasyim Asy'ari telah dikantongi. Maka pada tanggal 31 Januari 1926, Panitia Hijaz mengundang para ulama terkemuka untuk mengadakan diskusi mengenai utusan yang akan dikirim ke Kongres di Mekah.

Para ulama yang dipimpin oleh KH Hasyim Asy'ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat untuk mengangkat KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Panitia Hijaz. Namun, setelah KH Raden Asnawi terpilih, muncul pertanyaan siapa atau lembaga apa yang berhak mengutus Kiai Asnawi. Maka lahirlah Jam'iyah Nahdlatul Ulama (nama ini diusulkan oleh KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada tanggal 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926.