Berempati Tanpa Kehilangan Identitas
Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi
Direktur Dehills Institute
KABARINDO, JAKARTA - Salah satu ciri paling mendalam dari orang beriman adalah “senang melihat orang senang, dan bersedih melihat orang bersedih.” Ini bukan sekadar ungkapan normatif, melainkan manifestasi dari kepedulian universal yang melintasi batas-batas embel-embel sosial, budaya, dan keagamaan. Dalam konteks iman yang sejati, “orang” di sini berarti siapa saja: manusia utuh tanpa dikotomi berdasarkan latar belakang agama, suku, atau demografi. Inilah manifestasi dari ajaran Islam yang memandang manusia sebagai makhluk sempurna dengan kehormatan yang melekat padanya sejak penciptaan.
Menembus Garis Demarkasi (Pemisah)
Dalam kehidupan sosial, sering kali predikat memecah manusia ke dalam kategori sempit, menciptakan jarak dan prasangka. Padahal, Rasulullah ﷺ sendiri mencontohkan bagaimana Islam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yang universal:
1. Belaian kasih untuk yang bahagia: Sebagai manusia, ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain adalah bentuk empati universal.
2. Kepedulian tulus untuk yang berduka: Menangis bersama mereka yang menderita adalah cerminan iman, bukan sekadar tindakan moral.
Dalam pandangan iman yang matang, mendoakan kebahagiaan atau mengucapkan selamat kepada siapa pun tidak serta-merta berarti mengamini keyakinan mereka. Itu adalah penghormatan terhadap sisi kemanusiaan mereka – sesuatu yang juga diajarkan dalam Islam.
Perbedaan Pemilikan: Kata Salam
Sebagaimana disebutkan, Assalamu Alaikum warahmatullahi wabarakatuh adalah kalimat yang suci dan spesifik bagi umat Islam. Salam ini memiliki makna yang mendalam: kedamaian dan rahmat Allah yang Maha Kuasa atas kita. Di dalamnya ada “milik” Allah SWT, yang memang ditujukan khusus bagi sesama mukmin sebagai bentuk doa dan ikatan persaudaraan.
Dalam konteks ini, memberikan salam tersebut kepada non-Muslim menjadi tidak tepat karena ada aspek teologis yang tidak bisa ditawar. Namun, ini tidak berarti bahwa empati dan kebahagiaan bagi sesama manusia harus dikesampingkan. Mengucapkan “selamat Natal” atau “selamat tahun baru” – misalnya – tidak lebih dari pengakuan terhadap kebahagiaan mereka sebagai manusia. Ini adalah wujud kepedulian dan penghormatan dalam relasi antarindividu, bukan pembenaran terhadap keyakinan mereka.
Fenomena Diskursus: Ketidakseimbangan Pemahaman
Persoalan ini sering kali dikesederhanakan menjadi perdebatan hitam-putih. Ada kelompok yang melihat ucapan selamat sebagai tindakan menyerupai atau menyetujui akidah yang berbeda, sehingga menolaknya dengan tegas. Sebaliknya, ada kelompok yang mengabaikan aspek-aspek teologis, sehingga cenderung mereduksi makna iman itu sendiri.
Pendekatan yang benar dan cerdas terletak pada keseimbangan:
1. Menjaga identitas iman sebagai Muslim. Tidak semua doa atau ucapan cocok diberikan kepada semua orang, karena ada dimensi ketuhanan yang harus dihormati.
2. Menghormati kebahagiaan dan kemanusiaan mereka. Mengucapkan selamat atau ikut bahagia adalah bagian dari akhlak mulia dan nilai rahmatan lil alamin yang diajarkan Islam.
Seperti yang dikatakan oleh Imam Ja’far Ash-Shadiq:
“Manusia adalah saudaramu, baik dalam iman ataupun dalam kemanusiaan.”
Ucapan “selamat” dalam perayaan mereka tidak melunturkan keimanan, selama keyakinan kita tetap kokoh dan tidak bercampur.
Kebahagiaan Sebagai Ruang Kemanusiaan
Manusia diciptakan bukan untuk hidup sendirian. Kebahagiaan yang dirayakan bersama sesama manusia – terlepas dari perbedaan keyakinan – adalah bentuk solidaritas sosial. Dalam konteks kebangsaan, kebahagiaan bersama justru memperkokoh keharmonisan antarumat beragama, yang menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga persatuan.
Bayangkan seorang Muslim yang memberikan senyum atau ucapan tulus kepada tetangga non-Muslimnya di hari perayaan mereka. Tindakan kecil ini mencerminkan akhlak Islam yang luhur, memadamkan prasangka, dan menumbuhkan rasa hormat yang lebih dalam terhadap perbedaan.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad)
Perhatikan: bagi manusia lainnya, bukan hanya bagi Muslim saja. Ini adalah ajakan universal untuk menyebarkan kebaikan, kepedulian, dan kebahagiaan dalam skala kemanusiaan.
Esensi Berhubungan dalam Kehidupan
Ucapan selamat atau turut berbahagia adalah tindakan sederhana yang memiliki makna besar dalam hubungan interpersonal dan sosial. Dalam iman yang sejati, keutamaan seorang Muslim tidak hanya terletak pada kesalehan ritual, tetapi juga kepedulian terhadap sesama manusia.
Menolak mengucapkan salam khusus yang menjadi “milik” Allah adalah bagian dari penghormatan terhadap keyakinan kita. Namun, memberikan ucapan selamat dalam kebahagiaan manusia bukanlah bentuk kompromi akidah, melainkan wujud akhlak mulia dan pemahaman iman yang utuh.
Dengan memahami Teori Jangkar Spiritual dan kedalaman iman, kita akan mampu melihat setiap manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang memiliki hak untuk bahagia. Sebagaimana Allah menciptakan kita dengan penuh kasih, sudah seharusnya kita merayakan kebahagiaan mereka sebagai bentuk empati, bukan persetujuan teologis.
Kebahagiaan mereka bukan ancaman bagi iman kita, selama jangkar spiritual kita kokoh. Beriman adalah berjalan di antara dua ruang: menjaga ketegasan akidah dan merangkul kemanusiaan.
Comments ( 0 )