Dituding Ada Kartel Minyak Goreng, Ini Jawaban Pengusaha
KABARINDO, JAKARTA - Pengusaha menjawab tudingan telah melakukan kartel hingga membuat harga minyak goreng melejit beberapa waktu terakhir. Tudingan tersebut terdengar hingga Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) hingga Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menjelaskan kenaikan yang dialami oleh minyak goreng merupakan dampak dari hari raya Natal dan juga Tahun Baru 2022. Meskipun sudah berlalu, namun harga minyak goreng masih tinggi.
“Saya curiga ada praktek kartel atau oligopoly. Dalam UU tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, ada larangan terkait praktek usaha tidak sehat, monopoli, oligopoli, hingga kartel. Kalau kartel pengusaha bersepakat, bersekongkol menentukan harga yang sama sehingga tidak ada pilihan lain bagi konsumen,” katanya pada detikcom pada 10 Januari 2022.
KPPU juga mngendus praktik kartel dalam fenomena meroketnya harga minyak goreng. Kartel yang dimaksud ini adalah permainan harga dari pengusaha minyak sawit atau crude palm oil (CPO) dan produsen minyak goreng.
“Sinyal kartel ini terbaca, terbukti dengan kompaknya (produsen CPO dan minyak goreng) yang menaikkan harga minyak goreng. padahal biaya produksi kelapa sawit tidak ada kenaikan,” kata Komisioner KPPU, Ukay Karyadi dalam forum jurnalis secara daring 20 Januari 2022.
Direktur Utama PT Astra Agro Lestari Tbk, Sentosa menegaskan pengusaha industri kelapa sawit akan membantu pemerintah menjaga stabilitas harga minyak goreng dan akan berusaha menjaga profitabilitas perusahaan.
“Isu minyak ini seolah-olah ada kartel, nggak tahu benarnya bagaimana, tapi rasanya kimitmen seluruh pelaku industri kelapa sawit itu juga melakukan balancing, antara kebutuhan kita untuk menunjukkan kinerja sebagai perusahaan yang mencari profit dengan kontribusi sosial termasuk stabilitas harga minyak goreng. bersama dengan pemerintah, kita bekerja keras supaya itu bisa tercapai secepatnya,” katanya dalam bincang virtual, Selasa (15/2).
Sentosa menerangkan industri kelapa sawit memang diterpa banyak isu negatif, termasuk tentang tingginya harga minyak goreng.
“Isu-isu di sawit ini sangat banyak, dan persepsi sebagian besar terutama masyarakat dunia terhadap sawit begitu negatif. Saya cukup senang kalau melihat perkembangan 10 tahun terakhir sudah sangat positif. Kalau kita lihat 10 tahun awal kita setup, bagaimana kita mencoba bersama dengan GAPKI mengubah persepsi bahwa sawit itu tidak semuanya jelek,” tuturnya.
Sebenarnya, pihaknya juga khawatir jika harga minyak sawit terus mengalami kenaikan. Karena hal ini akan berpengaruh terhadap harga minyak goreng. waktu itu pun belum berlaku kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).
“Memang dua bulan terakhir saya lihat yang tadinya kita tahun lalu cukup positif, kontribusi terhadap ekonomi cukup tinggi tapi kalau harga terlalu tinggi, saya khawatir, tahun lalu juga agak khawatir. Semua kalau berlebihan itu pasti ada dampaknya dan kita rasakan kan harga minyak goreng naik, pun salah lagi nih,” jelasnya.
Namun, jika harga kelapa sawit jatuh pun ini akan memukul industri kelapa sawit itu sendiri.
Hal ini juga menimbulkan banyak pertanyaan, dimana Indonesia sendiri merupakan produsen CPO terbesar di dunia. Namun, harga minyak goreng di negara sendiri justru sangatlah mahal.
“Ada lagi yang berpendapat begini, ini kita produksi, produksi Indonesia kenapa dijual ke Indonesianya mahal sekali? Ini namanya komoditi ya kan, waktu harga murah juga, (harga) dunianya murah, Indonesianya murah juga,” kata Sentosa.
Sumber: Detik.com
Foto: Freepik user3802032, Thonkstockphotos
Comments ( 0 )