FJPI Sesalkan Penghentian Kasus Kekerasan yang Dialami Jurnalis Perempuan di NTB

FJPI Sesalkan Penghentian Kasus Kekerasan yang Dialami Jurnalis Perempuan di NTB

FJPI Sesalkan Penghentian Kasus Kekerasan yang Dialami Jurnalis Perempuan di NTB

Surabaya, Kabarindo- Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menyesalkan keputusan Polresta Mataram yang menghentikan penyelidikan kasus kekerasan yang dialami seorang jurnalis perempuan bernisial YNQ di Nusa Tenggara Barat (NTB).

FJPI mendesak polisi untuk melanjutkan kembali kasus tersebut menggunakan UU No. 40/1999 tentang Pers karena korban mengalami kekerasaan saat sedang menjalankan tugas jurnalistik.

Dalam rilisnya pada Jumat (114/2025), Ketua Umum FJPI Pusat, Khairiah Lubis, mengatakan tindakan pelaku yang melakukan persekusi, intimidasi dan kekerasan fisik terhadap korban jelas-jelas melanggar UU Pers.

“Sesuai dengan Pasal 8 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, jurnalis sudah semestinya mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya,” ujarnya.

Dalam Pasal 4 ayat (2) UU Pers juga disebutkan, Pers berhak mengakses, mengolah dan menyampaikan informasi kepada publik tanpa adanya intervensi dari pihak mana pun. Selain itu, Pasal 4 ayat (3) menyatakan, kebebasan pers harus dilindungi dari segala bentuk pembatasan yang dapat menghambat kinerjanya.

Dalam kasus tersebut, YNQ yang merupakan jurnalis Inside Lombok menjadi korban kekerasaan saat sedang meliput dan meminta konfirmasi terkait banjir yang terjadi di kompleks perumahan milik PT MA di Kecamatan Labuapi, Lombok, pada 11 Febaruari 2025. Saat itu, korban bersama sejumlah jurnalis lain datang untuk meminta konfirmasi pada pihak pengembang perumahan.

Namun saat proses wawancara, pihak PT MA memprotes unggahan terkait banjir di akun media sosial Inside Lombok kepada korban. Korban lantas mendapat persekusi dan intimidasi dari pihak pengembang perumahan yang tidak bersedia dikonfirmasi dengan mempertanyakan kredibilitas pribadinya. Saat itu, korban memutuskan keluar ruangan dan menangis karena tidak tahan dengan perlakuan tersebut. Namun oknum pihak pengembang perumahan inisial AG kemudian mengejar korban. Saat itulah, pelaku diduga melakukan tindak kekerasan dengan menarik tangan dan meremas bagian wajah korban.

Kasus tersebut kemudian dilaporkan ke Polresta Mataram. Namun Polresta Mataram justru menghentikan penyelidikan kasus tersebut dengan alasan perbuatan terlapor belum memenuhi unsur pidana sesuai pasal yang disangkakan, yaitu Pasal 335 KUHP terkait dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.

“Kami menyesalkan penghentian penyelidikan kasus kekerasan ini oleh Polresta Mataram. FJPI akan mengadukan kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan dan penghentian penyelidikan kasus ini ke Dewan Pers,” kata Khairiah.

Menurut Khairiah, tindak kekerasan yang dialami korban telah menimbulkan trauma. Hal itu dibuktikan dari hasil tes psikologi dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Mataram yang menyebutkan korban mengalami trauma berat dan tertekan. Apalagi, korban mengalami kekerasan saat sedang bekerja dalam kondisi hamil.

Ketua Divisi Hukum Forum Jurnalis Perempuan Indonesia, Devy Diani, mendesak aparat kepolisian melanjutkan penyelidikan kasus kekerasan itu menggunakan UU No. 40/1999 tentang Pers. Hal ini karena korban mengalami kekerasan saat sedang melaksanakan tugas jurnalistik.

“Hal ini sesuai dengan MoU yang sudah disepakati antara Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan Dewan Pers yang tertuang dalam surat Nomor 03/DP/MoU/III/2022 dan Nomor NK/4/III/2022, tentang Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum dalam Kaitan dengan Penyalahgunaan Profesi Wartawan. PKS pertama ini merupakan turunan dari nota kesepahaman Dewan Pers-Mabes Polri yang telah disepakati. Tujuan utama PKS tersebut untuk meminimalkan kriminalisasi terhadap karya jurnalistik,” jelas Devy.

Dalam UU Pers, ketentuan pidana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan, setiap orang yang melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta Rupiah).