Jokowi Memang 'Berkuasa'

Jokowi Memang 'Berkuasa'
Jokowi Memang 'Berkuasa'

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Pengurus DPP Partai Demokrat

 

Dalam dunia komunikasi politik, kekuasaan bukan semata soal jabatan, tetapi tentang resonansi. Bukan tentang seberapa tinggi pangkat di pundak, melainkan seberapa dalam nama itu membekas dalam kesadaran kolektif. Dan pada titik inilah Joko Widodo—Jokowi—berdiri sebagai sosok yang fenomenal. Ia adalah narasi yang masih hidup meski panggung formalnya telah ia tinggalkan. Ia tetap 'berkuasa' bahkan saat tak lagi memegang kekuasaan.

 

Teori Komunikasi dan Resonansi Sosial

Dalam teori komunikasi, ada istilah yang dikenal sebagai symbolic interactionism—konsep bahwa makna dibentuk dan dibagikan lewat interaksi simbolik dalam masyarakat. Jokowi, dalam bahasa sederhana, telah menjadi simbol. Bukan sekadar presiden, tetapi metafora dari 'kesederhanaan yang terorganisir', 'populisme yang bekerja', dan 'politik yang bisa diraba oleh rakyat jelata'. Maka ketika ia bicara, bahkan setelah lengser, gaungnya masih terdengar. Karena ia telah menjadi bagian dari memori kolektif.

Fenomena ini selaras dengan konsep agenda-setting theory—media tidak mengatakan kepada kita apa yang harus kita pikirkan, tapi apa yang harus kita pikirkan tentang. Jokowi menjadi objek yang terus dibicarakan, baik oleh pengagum maupun oleh pembenci. Ini bukan soal nilai moral atau politik dari isi pembicaraan, melainkan tentang efektivitas komunikasi: bahwa topik itu terus hidup, terus relevan.

Antara Cinta dan Benci: Dua Sayap Narasi

Dalam politik, cinta dan benci adalah dua sisi dari daya magnet yang sama. Polarisasi adalah produk komunikasi massa yang paling kuat dampaknya dalam dunia digital hari ini. Jokowi, dalam banyak hal, adalah sosok yang memantik polar response. Ia disayang hingga disanjung, ia dikritik hingga dikutuk. Namun dalam kaca mata ilmu komunikasi, ini semua adalah bentuk dari eksistensi. Tidak ada figur yang dibenci secara massal tanpa pernah memiliki pengaruh yang besar. Tidak ada cinta yang begitu kuat, tanpa ada konstruksi narasi yang panjang.

Kebencian adalah energi. Dan seperti energi, ia tak bisa dimusnahkan, hanya bisa dialihkan. Maka ketika nama Jokowi disebut, baik dalam pujian maupun dalam kritik, sesungguhnya ia sedang dihidupkan kembali. Ia hadir dalam percakapan digital, dalam ruang redaksi, dalam ruang keluarga, dalam panggung politik. Ia bukan lagi sekadar mantan presiden. Ia adalah simbol komunikasi yang tetap hidup.

Komunikasi sebagai Kekuasaan Baru

Dalam perspektif critical theory ala Habermas, kekuasaan dalam masyarakat modern berpindah dari tangan ke wacana. Siapa yang menguasai narrative space, ia mengendalikan makna. Jokowi tampaknya memahami betul ini. Ia tak banyak bicara, tapi setiap ucapannya terukur. Ia membiarkan ruang kosong diisi oleh spekulasi, oleh simpati, atau bahkan oleh kebencian. Tapi semua itu tetap dalam orbitnya. Inilah seni komunikasi tingkat tinggi: silence as strategy.

Komunikasi adalah kekuasaan yang tak kasat mata, namun justru karena itu ia mengikat lebih kuat. Dan Jokowi, dengan segala kelebihan dan kontroversinya, telah berhasil memegang kendali atas komunikasi itu. Dalam bahasa semiotika, ia adalah signifier yang tak lekang oleh waktu jabatan.

Maka tak berlebihan bila kita menyebut: Jokowi memang 'berkuasa'. Bukan dalam makna administratif, tetapi dalam makna yang lebih dalam—pengaruh kultural dan komunikasi politik. Ia tidak lagi duduk di singgasana negara, tapi ia menempati ruang batin publik, entah sebagai harapan yang telah berlalu atau sebagai luka yang belum sembuh.

Inilah komunikasi dalam bentuk tertingginya: ketika seseorang telah menjadi cerita yang tidak bisa diabaikan. Dan dalam dunia politik, tak ada kekuasaan yang lebih kuat dari itu.

Untuk bangsa yang sedang mencari arah, memahami kekuatan komunikasi adalah memahami kekuatan tak terlihat yang menggerakkan opini, mengubah sikap, dan menentukan masa depan.