Realitas Politik, Stabilitas, dan Jalan Menuju 2029

Realitas Politik, Stabilitas, dan Jalan Menuju 2029
Realitas Politik, Stabilitas, dan Jalan Menuju 2029

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi

 

Di tengah riuh gagasan pemakzulan dan kekecewaan politik, kita mesti menarik nafas panjang dan melihat kenyataan sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita harapkan. Kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden terpilih, betapapun kontroversial jalannya, kini merupakan bagian dari realitas politik nasional yang harus kita hadapi dengan kepala dingin dan akal sehat.

 

Saya tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan yang menuduh Prabowo Subianto semata-mata bersalah karena memilih Gibran. Di satu sisi, saya pun mengakui bahwa keputusan itu mengandung perhitungan politik yang tegas, bahkan mungkin tajam dan menabrak batas-batas etika konstitusional. Namun di sisi lain, siapa pun yang jujur membaca dinamika pemilu 2024 pasti menyadari: Gibran adalah salah satu kunci kemenangan. Ia bukan sekadar penumpang, melainkan pion strategis dalam bidak kekuasaan yang dimainkan dengan lihai.

 

Gagasan memakzulkan Gibran hari ini, setelah proses demokrasi berjalan dan hasilnya diterima secara hukum, seakan mengabaikan momentum dua tahun lalu—saat akrobat hukum yang membuka jalan bagi Gibran masih berupa wacana. Saat itulah mestinya protes digelorakan, bukan sekarang ketika keputusan sudah final dan rakyat telah memilih.

 

Lebih jauh, mereka yang menyerukan pemakzulan sering mengusung gagasan kembali ke UUD 1945 yang asli. Namun mari kita jujur: wacana ini bukan sekadar romantisme konstitusional, tapi proposal perubahan sistemik yang akan memicu turbulensi politik luar biasa. Memilih presiden kembali oleh MPR, membubarkan Mahkamah Konstitusi, dan merevisi banyak undang-undang adalah pekerjaan berat yang belum tentu menghasilkan stabilitas.

 

Politik bukan soal benar atau salah semata. Politik adalah seni memilih dari pilihan-pilihan yang ada, dan kadang, dari yang sama-sama tidak ideal. Kini Prabowo punya tugas besar: menjaga keseimbangan antara kekuasaan dan stabilitas, antara loyalitas terhadap Jokowi dan pembentukan wajah pemerintahannya sendiri. Dalam posisi seperti ini, merangkul oposisi dan menjaga harmonisasi menjadi pilihan strategis, bukan kelemahan.

 

Kita semua tahu bahwa "matahari kembar" kekuasaan itu tidak sehat bagi demokrasi. Tapi ia sudah lahir dari rahim kompromi politik yang disetujui—secara diam atau terang—oleh sebagian besar elite. Tapi ini pun belum tentu kebenaran, masih dalam ranah sangka dan prasangka. Dalam demokrasi, kita menanggung akibat dari keputusan bersama, dan satu-satunya jalan untuk memperbaikinya bukanlah dengan menghancurkan hasilnya, tetapi dengan membangun dari dalam: mengawal, mengkritisi, dan bersiap sejak dini menyongsong 2029.

 

Daripada menari dalam bayang-bayang kemarahan, lebih baik kita siapkan panggung baru. Bekerja, berbenah, memperbaiki sistem, dan menanam harapan dengan lebih rasional. Demokrasi tak berhenti di satu kontestasi. Ia adalah arus panjang, dan 2029 adalah sungai besar yang sudah menanti perahu-perahu yang lebih tangguh, lebih cerdas, dan lebih bersih.

 

Saatnya meninggalkan kegaduhan yang melelahkan, dan melangkah dengan akal, bukan hanya perasaan. Karena membangun bangsa ini bukan soal siapa yang salah, tapi siapa yang siap.