Pekan Mode Dakar ke-19: Peragaan Busana Sadar Inklusivitas dan Keberlanjutan

Pekan Mode Dakar ke-19: Peragaan Busana Sadar Inklusivitas dan Keberlanjutan

KABARINDO, DAKAR – Karena pembatasan coronavirus, pertunjukan Dakar Fashion Week edisi ke-19 hampir tidak terjadi. Penyelenggara Adama Ndiaye harus berpikir cepat, dan hasilnya adalah satu hari ajaib mode di hutan baobab yang terletak di cagar alam Bandia, Senegal.

Hutan baobab dipilih untuk mengingatkan peserta tentang tanggung jawab dunia mode untuk terus beroperasi secara berkelanjutan.

Acara yang diadakan pada akhir pekan (17-18 Desember 2021) di ibukota Senegal dengan tema tanggung jawab lingkungan itu menampilkan 20 desainer yang koleksinya, baik yang di runway maupun dijual di butik, telah lama dibuat manual dengan tangan di benua itu alih-alih diproduksi massal di pabrik.

"Banyak desainer telah melakukan 'slow fashion' tetapi mereka tidak menyadarinya," kata Adama Ndiaye, pendiri Dakar Fashion Week dan desainer di balik Adama Paris.

"[Mode seperti] Itu dibuat di sini dan tidak dibuat dalam jumlah besar. Kami [sebelumnya] sangat malu akan hal itu selama bertahun-tahun, tetapi sekarang kami bangga karenanya. Ini adalah kemewahan."

Sebaliknya, konsumen "fashion cepat", terutama di dunia Barat, membeli dan membuang pakaian pada tingkat yang mengkhawatirkan sehingga menyebabkan polusi terkait industri meningkat.

Dikenal dengan nama merek Adama Paris, Ndiaye, yang juga menciptakan acara Black Fashion Week pertama di ibu kota Prancis, memang secara rutin menempelkan tema progresif pada acara mode tenda besar Senegal.

Melibatkan Berbagai Jenis Model

Di kaki pohon baobab yang menjulang tinggi di luar ibu kota Senegal, Dakar, pada Sabtu (18/12), kamera menyala dalam cahaya senja yang memudar saat Najeebah Samuel yang berusia 20 tahun berjalan di atas catwalk dengan tepuk tangan meriah.

Lahir dengan cerebral palsy, Samuel, 20, adalah yang pertama dari dua lusin model dari segala bentuk dan ukuran untuk tampil di pentas peraga di acara Pekan Mode tahunan ke-19 Dakar, yang diadakan pada akhir pekan dengan tema ganda inklusivitas dan keberlanjutan.

"Saya ingin membuktikan kepada anak-anak dengan disabilitas lainnya bahwa disabilitas tidak mendefinisikan siapa Anda - Anda hanya Anda," kata Samuel, mengenakan gaun oranye dan biru oleh pendiri Fashion Week Adama Ndiaye. "Anda harus keluar dan menunjukkan kepada orang-orang siapa Anda."

Menampilkan desainer dari seluruh Afrika, Pekan Mode Dakar adalah salah satu pameran mode terlama di benua itu.

Diketahui pernah melarang model menggunakan krim depigmentasi (pencerah warna) kulit untuk mempromosikan penerimaan diri, Ndiaye memilih inklusivitas sebagai salah satu tema tahun ini untuk mengontraskan standar kecantikan fashion Barat yang seringkali kaku.

"Saya tidak ingin hidup dengan mode seperti yang diperintahkan oleh diktat Eropa," kata Ndiaye. "Saya ingin wanita yang mewakili banyak hal berbeda, lebih dari sekadar tubuh."

Kenyataan yang Kontras

Sayangnya, niat baik Ndiaye belum bisa dieksekusi secara menyeluruh. Mayoritas kain yang digunakan pada Dakar Fashion Week tahun ini, meskipun dirakit di Afrika, diimpor dari luar negeri. Bahkan kain lilin biasanya diproduksi di Cina dan Eropa.

"Kami tidak membuat semuanya di sini, jadi kami tidak dapat membuat koleksi yang 100% Senegal," kilah Ndiaye, yang lini produksinya menggunakan bahan impor dari Thailand.

Di tempat perhelatan itu juga terlihat tumpukan botol air minum plastik serta payung, tikar, dan poster berlogo air minum kemasan Kirene yang mensponsori acara tersebut.

Mengenai hal ini, Ndiaye membela diri dengan menyatakan betapa sulitnya mengadakan acara demikian tanpa sponsor, terutama bila topiknya kurang ‘populer’.

"Bahkan untuk bisa berbicara tentang keberlanjutan saya harus mendapat dukungan, karena semua ini membutuhkan uang," katanya. (Sumber: Reuters, BBC, France24; Foto: BBC; France24)