Sombong Antara Pantas dan Tidak

Sombong Antara Pantas dan Tidak
Sombong Antara Pantas dan Tidak

 

Oleh Hasyim Arsal Alhabsi

 

Ada pejabat baru yang tampil dengan percaya diri, bahkan sampai terdengar “sombong”. Dalam konteks politik, pernyataan seperti itu kerap menimbulkan pro dan kontra. Sebagian menilai itu sikap yang tidak elok, sebagian lain melihatnya sebagai ekspresi keyakinan penuh terhadap kemampuan diri. Pertanyaan yang layak kita ajukan: apakah “sombong” itu pantas atau tidak?

 

Sombong: Urusan Pribadi

 

Kesombongan adalah soal hati. Ia berdiri dalam wilayah vertikal—hubungan seorang manusia dengan Tuhannya. Jika seorang pejabat menyatakan sesuatu dengan nada congkak, maka itu bagian dari pertanggungjawaban pribadinya di hadapan Allah. Kita tidak bisa menimbang kadar keikhlasan atau rendah hati seseorang, sebab itu ruang yang hanya Tuhan berhak mengukur.

 

Kerja: Urusan Publik

 

Namun di luar persoalan hati, ada yang lebih penting: kerja nyata. Di titik inilah “sombong” seorang pejabat menjadi relevan untuk publik. Ucapannya harus diuji dengan fakta, bukan berhenti pada retorika. Jika janji besar terbukti dengan hasil yang nyata, maka publik justru berutang terima kasih. Tetapi jika kata-kata berani itu hanya tinggal gema kosong, maka masyarakat punya hak penuh untuk menuntut dan menggugat.

 

Purbaya Yudhi Sadewa baru saja dilantik menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Pergantian ini terjadi di tengah protes sosial yang menguat, rupiah yang melemah, serta pasar yang meradang. Di awal jabatannya, ia langsung melontarkan janji besar: melonggarkan likuiditas, mempercepat belanja negara, menjaga defisit tetap di bawah 3 %, dan mendorong pertumbuhan ekonomi hingga 8 %.

 

Nada percaya diri yang keluar darinya bisa terdengar sombong, apalagi jika dibandingkan dengan pendahulunya yang terkenal hemat dan disiplin. Tetapi bukankah publik memang butuh seorang menteri yang yakin dengan strateginya? Yang tidak hanya berbisik, melainkan berteriak bahwa masalah bisa diatasi?

 

Di sinilah garis ujinya: apakah pertumbuhan 8 % itu hanya angka di atas kertas, atau betul-betul hadir dalam bentuk daya beli yang membaik, harga kebutuhan yang terkendali, serta rasa adil bagi rakyat kecil? Jika iya, maka “sombong”-nya Purbaya menjadi pantas—sebab terbukti berbuah manis. Tapi bila gagal, maka ucapannya hanya akan menjadi catatan pahit dalam sejarah.

 

Mungkin kita terlalu sering terjebak menilai gaya bicara pejabat, apakah ia rendah hati atau sombong. Padahal, yang lebih menentukan nasib rakyat bukanlah gaya, melainkan hasil. Kesombongan pejabat adalah urusan vertikal antara dirinya dengan Tuhan, tetapi kinerjanya adalah urusan horizontal antara dirinya dengan rakyat.

 

Maka biarlah ia “sombong” asal benar, asal nyata. Sebab sombong yang terbukti akan menjadi keyakinan. Sebaliknya, rendah hati yang gagal mewujudkan keadilan hanya akan menjadi kepura-puraan.

 

Imam Ali bin Abi Thalib Karramallahu Wajhahu pernah berkata:

 

“Nilai seseorang diukur dari apa yang ia kerjakan dengan baik.”

 

Ungkapan ini mengingatkan kita: ukuran sejati bukanlah kata-kata yang terdengar rendah hati atau sombong, melainkan hasil yang lahir dari kerja nyata.

 

Sementara filsuf modern Erich Fromm menegaskan, “Manusia hanya menjadi dirinya sepenuhnya melalui perbuatan.” Dengan kata lain, retorika hanyalah kulit luar; substansinya ada pada kerja dan hasil yang bisa dirasakan bersama.