Syukur

Syukur

Bagian 1

Oleh: Hasyim Arsal Alhabsi, Direktur Dehills Institute

KABARINFO, JAKARTA - Suatu hari, Imam Ja’far Ash-Shadiq sedang duduk bersama murid-muridnya. Dalam suasana yang tenang, beliau memandang mereka dengan senyum hangat, lalu bertanya,
“Apakah kalian tahu apa itu syukur?”

Seorang murid dengan penuh percaya diri menjawab, “Syukur adalah ketika kita diberi nikmat oleh Allah, kita mengucapkan Alhamdulillah.”

Imam Ja’far mengangguk pelan, lalu bertanya lagi, “Lantas, apa yang kalian lakukan jika kalian tidak diberi sesuatu yang kalian inginkan?”

Murid itu menjawab dengan suara mantap, “Jika tidak diberi, kami bersabar.”

Mendengar jawaban itu, Imam Ja’far tersenyum lembut dan berkata, “Kalau begitu, anjing pun melakukan hal yang sama. Ketika diberi, dia senang. Ketika tidak diberi, dia diam dan bersabar.”

Ruangan seketika hening. Murid-murid terdiam, merasa jawaban mereka yang tampak benar ternyata belum menyentuh esensi syukur yang sesungguhnya. Salah satu murid pun dengan penuh rasa ingin tahu berkata, “Wahai Imam, ajarkanlah kami tentang syukur yang sejati.”

Imam Ja’far pun berkata, “Syukur bukan hanya menerima. Ketika engkau tidak diberi sesuatu, bersyukurlah dengan mengucapkan Alhamdulillah karena Allah tahu apa yang terbaik untukmu. Dan ketika engkau diberi, bersyukurlah dengan berbagi, karena nikmat yang kau miliki akan menjadi penuh makna jika membawa manfaat untuk orang lain.”

Syukur: Sebuah Keseimbangan Jiwa

Syukur adalah mekanisme spiritual yang tak sekadar kata-kata, tetapi jalan hidup yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya dan manusia dengan sesamanya. Dalam dialog tersebut, Imam Ja’far mengajarkan bahwa syukur sejati adalah tindakan yang melibatkan kesadaran mendalam atas keadilan dan kasih sayang Allah dalam setiap keadaan.

Ketika tidak mendapatkan apa yang diinginkan, seseorang diajak untuk bersyukur, bukan sekadar bersabar. Sebab, di balik “tidak diberi,” ada hikmah tersembunyi yang hanya dapat dirasakan oleh hati yang berserah. Tidak diberi sesuatu bukan berarti diabaikan, melainkan dijaga dari hal yang mungkin membawa keburukan.

Sebaliknya, ketika mendapatkan nikmat, syukur sejati diwujudkan dalam bentuk berbagi. Karena nikmat yang tidak dibagikan hanya akan menjadi penjara bagi jiwa, mengurung pemiliknya dalam keserakahan yang melelahkan. Dengan berbagi, nikmat menjadi cahaya yang menerangi kehidupan banyak orang, menjadikannya lebih bermakna dan abadi.

Syukur yang Membebaskan

Syukur, dalam makna yang diajarkan Imam Ja’far, adalah pembebasan jiwa. Ia membebaskan manusia dari belenggu keluh kesah ketika merasa kurang, dan membebaskan dari keserakahan ketika merasa cukup. Dengan bersyukur, manusia mengerti bahwa setiap keadaan adalah peluang untuk lebih dekat kepada Allah.

Dialog ini bukan sekadar percakapan sederhana antara guru dan murid. Ia adalah undangan untuk memahami hidup dengan cara yang lebih luhur. Karena dalam setiap ucapan “Alhamdulillah,” tersimpan keyakinan bahwa Allah selalu memberi, meski dalam wujud yang mungkin tak selalu kita pahami.

Dan itulah esensi syukur: menerima dengan tulus, memberi dengan ikhlas, dan berjalan di atas keyakinan bahwa setiap detik kehidupan adalah nikmat yang patut dirayakan.