UI Resmi Kukuhkan Prof. Yunia Irawati Jadi Guru Besar Kesehatan Mata FKUI
Lahirkan inovasi Teknik Yunia: modifikasi tarsorafi yang lebih ekonomis untuk penanganan lagoftalmus pada penderita lepra
KABARINDO, JAKARTA - Universitas Indonesia (UI) resmi mengukuhkan Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) sebagai Guru Besar/Profesor Fakultas Kedokteran UI dalam bidang Plastik dan Rekonstruksi Mata, di Aula FKUI, Salemba, Jakarta, Rabu (6/2/2024).
Penghargaan akademik tertinggi ini diberikan atas kontribusi Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) dalam pengembangan ilmu okuloplastik-rekonstruksi, khususnya dalam penanganan kelainan kelopak mata yang berdampak pada kesehatan penglihatan masyarakat, dan secara berkelanjutan turut mendukung produktivitas bangsa.
Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) merupakan dokter spesialis mata JEC Eye Hospitals and Clinics keempat yang dikukuhkan menjadi Guru Besar/Profesor Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pengukuhan dipimpin oleh Rektor UI Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU. Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) mengangkat bahasan bertajuk “Perspektif Okuloplastik Rekonstruksi dalam Pendekatan Terapi dan Rehabilitatif untuk Menangani Masalah Kesehatan Individu hingga Masyarakat untuk Mendukung Produktivitas Bangsa.”
Saat ini, Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) merupakan Head of Trauma Center Subspesialis Divisi Plastik dan Rekonstruksi Mata JEC Eye Hospitals and Clinics, President of Indonesian Society of Ophthalmic Plastic and Reconstructive Surgery (INASOPRS), President of Indonesia Ophthalmic Trauma Society (INAOTS) sekaligus pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Pengukuhan ini menambah deretan dokter spesialis mata dari JEC Eye Hospitals and Clinics yang menjadi guru besar di perguruan tinggi ternama Indonesia.
Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) dalam pidato pengukuhannya menyampaikan, bahwa kesehatan mata menjadi faktor krusial dalam mendukung produktivitas kerja - yang secara masif turut mempengaruhi keberlanjutan ekonomi negara. Sebab, penglihatan yang optimal memungkinkan seorang individu berfungsi secara efektif dalam kehidupan sehari-hari.
"Katarak memang masih menjadi penyebab utama kebutaan. Namun, gangguan penglihatan lainnya juga perlu diwaspadai. Salah satunya, kelainan kelopak mata, yang juga bisa berisiko serius pada penderitanya; mulai iritasi, kerusakan kornea, gangguan tajam penglihatan, bahkan sampai kebutaan," terangnya.
Lagoftalmus, yakni ketidakmampuan menutup kelopak mata secara sempurna, menjadi kelainan kelopak mata yang umum dialami para penderita lepra.
Padahal, dari sisi jumlah, penderita lepra di Indonesia menjadi terbanyak ketiga, setelah India dan Brazil. Data Kementerian Kesehatan menyebut, pada 2023 jumlah penderita lepra di Indonesia mencapai 12.798 kasus.
“Di sinilah pendekatan okuloplastik-rekonstruksi (atau bedah plastik dan rekonstruksi pada ilmu kesehatan mata) memiliki peran besar! Sayang, implementasinya masih menemui persepsi yang keliru. Okuloplastik-rekonstruksi dianggap untuk kebutuhan estetika saja. Padahal cakupannya jauh lebih luas, termasuk pemulihan fungsi vital jaringan yang rusak. Bukan hanya itu, pembiayaan untuk prosedur ini juga masih terkendala lantaran dianggap tidak esensial oleh asuransi kesehatan,” lanjut Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K).
Sebagai upaya memberikan solusi, Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K), sebelumnya telah berhasil melahirkan inovasi teknik modifikasi tarsorafi (disebut Teknik Yunia) yang lebih ekonomis untuk penanganan lagoftalmus pada penderita lepra. Teknik Yunia terbukti sama efektifnya dengan metode gold weight implant - yang paling sering digunakan untuk menangani lagoftalmus pada penderita lepra. Temuan ini telah mengantarkan Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) meraih gelar doktor pada 2021 lalu.
Tak hanya di ranah akademik dan klinis, Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) turut menggagas KATAMATAKU UI berupa pendampingan kesehatan yang komprehensif bagi pasien, mantan penderita dan komunitas lepra di Indonesia. Inisiatif ini bertujuan meningkatkan kualitas hidup mereka secara berkelanjutan, menghapus stigma yang melekat, dan mendukung terciptanya masyarakat yang inklusif.
Sejak diprakarsai pada 2018, pelaksanaan KATAMATAKU UI melibatkan kolaborasi lintas fakultas di Universitas Indonesia dan mencakup tiga aspek utama: 1) Kesehatan, 2) Anti-stigma, dan 3) Agro-ekonomi. Aspek kesehatan meliputi kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Aspek anti-stigma berupa edukasi untuk mencegah diskriminasi terhadap penderita lepra; melalui peningkatan pemahaman masyarakat bahwa lepra bukanlah penyakit kutukan, melainkan infeksi bakteri yang dapat diobati dan dikelola secara medis. Sementara, aspek agro-ekonomi berupaya memberdayakan pasien, mantan penderita dan komunitas lepra melalui pelatihan dan pengembangan keterampilan sebagai upaya peningkatan ekonomi mereka.
Selain berkolaborasi lintas rumpun di Universitas Indonesia, KATAMATAKU UI juga menjalin kerja sama dengan pemerintah, sektor swasta, dan non-government organization (NGO). Pendekatan lintas sektor ini memungkinkan KATAMATAKU UI menjadi program yang tidak hanya bersifat interdisipliner, tetapi juga multisektoral, untuk menjawab kebutuhan pasien, mantan penderita, dan komunitas lepra secara menyeluruh.
Selain berfokus pada bidang kesehatan (dengan menyasar kelompok lepra), Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) bersama rekan-rekan sevisi memperluas dampak KATAMATAKU UI ke sektor pendidikan dengan membentuk KATAMATAKU Alumni pada 2024 lalu. Salah satunya dengan menjalankan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) – Elective Posting. Ruang kolaborasi lintas fakultas ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi mahasiswa melalui pembelajaran langsung di industri/lapangan. Program ini membekali mahasiswa dengan pengalaman praktis untuk menghadapi dunia kerja dan berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan kolaboratif lintas disiplin, para lulusan akan mampu menghadapi tantangan yang kompleks dan menjadi sumber daya manusia yang siap pakai di real sector.
“Sebagai akademisi, saya memiliki tanggung jawab besar untuk berkontribusi kepada Indonesia dari hulu ke hilir. Tantangan kesehatan mata di Indonesia, terutama terkait kelainan kelopak mata dan kebutaan, memerlukan perhatian dan solusi yang kolaboratif dari berbagai pihak. Saya meyakini inisiatif, inovasi, dan kolaborasi mampu menjadi motor penggerak perubahan. Mari menjadi bagian dari solusi dan katalisator bagi masa depan yang lebih baik! Bersama, kita wujudkan masyarakat Indonesia yang unggul, sehat, tangguh, dan impactful!” tandas Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K).
Pengukuhan Prof. Dr. dr. Yunia Irawati, SpM(K) menambah jumlah dokter spesialis mata dari JEC yang menjadi Guru Besar Ilmu Penyakit Mata di FKUI. Sebelumnya, gelar tersebut juga pernah dikukuhkan kepada (Almarhum) Prof. Dr. Istiantoro Sukardi, SpM(K), salah satu pendiri JEC sekaligus pengajar dan praktisi ahli bidang bedah katarak dan kornea; Prof. Dr. Tjahjono D. Gondhowiarjo, SpM(K), PhD, pengajar dan praktisi ahli bidang katarak dan kornea, dan saat ini menjabat sebagai Direktur Pengembangan dan Pendidikan JEC Eye Hospitals and Clinics; dan Prof. DR. Dr. Widya Artini Wiyogo, Sp.M(K), pengajar dan praktisi ahli bidang glaukoma, dan saat ini menjabat sebagai Ketua JEC Glaucoma Service, serta Direktur Institut Pendidikan dan Riset JEC Eye Hospitals and Clinics. Foto: Orie Buchori/Kabarindo.com
Comments ( 0 )